SULSELSATU.com – Calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, mengajukan Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu mereka dilakukan usai KPU mengumumkan pasangan Jokowi-Maruf Amin menang Pilpres 2019 dengan raihan 85.607.362 atau 55,50 persen suara. Sementara perolehan suara Prabowo-Sandi hanya 68.650.239 atau 44,50 persen suara.
Dari berkas permohonan, tim hukum Prabowo-Sandiaga menjabarkan adanya bentuk kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM) terjadi di Pilpres 2019.
Baca Juga : MK Nilai Penyalahgunaan APBN oleh Jokowi di Pilpres Tidak Terbukti
Kecurangan itu mereka jabarkan menjadi lima kategori, yakni ketidaknetralan aparatur negara, diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, penyalahgunaan APBN, serta penyalahgunaan anggaran BUMN. Di tiap kategori pelanggaran itu, mereka menyertakan bukti tautan berita.
Ketua Lembaga Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Veri Junaidi, menilai subtansi laporan gugatan PHPU Prabowo-Sandiaga ke MK memiliki komposisi sebesar 70 persen bukti dan 30 persen merupakan argumentasi teoritis.
Veri menyebut berbagai bukti yang diajukan oleh tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno belum cukup kuat untuk memenangkan gugatan sengketa Pilpres 2019 di MK.
Baca Juga : PBNU Ajak Istighotsah Saat Putusan MK
Ia menilai bukti yang diajukan kebanyakan hanya tautan berita yang tidak menguatkan bukti adanya pelanggaran pilpres yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM)
“Untuk membuktikan dalil yang TSM itu, menurut saya ga cukup hanya menggunakan pemberitaan- pemberitaan media dan membangun framing bahwa pemilu kita ini terjadi secara tak jurdil dan demokratis. Nah ini tugas 02 untuk membuktikan,” kata Veri Kamis (13/6/2019) dilansir CNN.
Meski demikian, Veri mengakui argumentasi teoritis tentang pelanggaran TSM yang disusun oleh tim hukum Prabowo-Sandiaga sudah cukup kuat. Akan tetapi, kata dia, berbagai barang bukti untuk menopang berbagai argumentasi tersebut belum cukup kuat.
Baca Juga : Jelang Putusan Sengketa Pilpres, 30 Teroris Terdeteksi Masuk Jakarta
Semisal, Veri mencontohkan bahwa bukti-bukti yang menunjukkan adanya dugaan kecurangan secara terstruktur, seperti pengerahan aparatur negara dalam Pilpres masih minim diberikan oleh tim Prabowo-Sandiaga.
“Di sinilah tantangannya adalah membuktikan dalil, baik secara kualitatif bahwa pelanggaran atau tidak. Tapi juga membuktikan dalil yang TSM menurut saya enggak cukup hanya menggunakan pemberitaan media dan membangun framing bahwa pemilu kita ini terjadi tak jurdil dan demokratis,” kata dia.
“Misal ada bukti perintah surat tugas [aparat negara] enggak yang memerintahkan pada struktur yang ada untuk bergerak memenangkan kandidat tertentu? maka harus dibuktikan itu,” tambahnya.
Baca Juga : Jokowi-Ma’ruf Amin Tak Berada di Jakarta saat Sidang Putusan MK
Tak berhenti sampai di situ, Veri mengatakan bahwa kubu Prabowo-Sandi harus memiliki bukti kuat apakah argumentasi pelanggaran TSM tersebut bisa mempengaruhi hasil pemilu secara keseluruhan.
Veri sendiri mengaku heran meski mengaku Pilpres penuh kecurangan, namun Prabowo-Sandiaga justru mengklaim menang dari Jokowi-Ma’ruf sebesar 52 persen.
Persoalan pun berlanjut. Veri menilai kubu Prabowo-Sandiaga sendiri belum memiliki cukup bukti-bukti untuk memperkuat argumentasinya bisa memenangkan Pilpres 2019 sebesar 52 persen.
Baca Juga : Usai Sidang MK, Tim Prabowo-Sandi: Menang Jangan Sombong, Kalah Jangan Ngototan
“Mestinya kan kalau mereka mengklaim menang 10 persen, maka harus dibuktikan kemenangan 10 persen itu mereka peroleh darimana? dan kesalahannya di sisi mana. Itu yang harus dibuktikan terlebih dahulu,” kata Veri
Lebih lanjut, Veri menilai kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi dapat bekerja secara profesional dan netral dari politik dalam memutus perkara PHPU ini.
Sebab, kata dia, para hakim MK tersebut memiliki rekam jejak yang baik dan profesional dalam memutus berbagai gugatan perselisihan Pilkada serentak yang terjadi pada tahun 2017 dan 2018 silam.
“[Para hakim] MK sudah pernah membuktikan kalau MK bukan mahkamah kalkulator. Soal komitmen itu tak perlu diragukan lagi bagaimana MK akan memutus perkara ini,” kata dia.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar