Wacana Menghidupkan GBHN dan Realita Rezim Orde Baru
SULSELSATU.com, JAKARTA – Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) diwacanakan bakal kembali dihidupkan. GBHN diklaim bisa menjadi pedoman pembangunan nasional.
Anggota MPR dari Fraksi PAN Ali Taher menyatakan, GBHN diperlukan untuk mengontrol capaian dan anggaran sehingga pembangunan dapat benar-benar dirasakan rakyat.
Ali menyebut tanpa GBHN, proses pembangunan hanya akan bergantung janji kampanye atau visi misi presiden dan wakil presiden terpilih.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berpikiran serupa. Menurutnya, GBHN dibutuhkan agar rencana pembangunan tetap berkesinambungan.
“Jangan sampai terputus kesinambungan dan perencanaan jangka panjang, ya perlu GBHN,” kata Tjahjo dikutip dari CNNIndonesia.
GBHN bukan barang baru dalam proses ketatanegaraan Indonesia. GBHN pernah menjadi pedoman pembangunan semasa rezim Orde Baru.
Pada saat itu, GBHN merupakan acuan utama presiden Soeharto, dalam mewujudkan cita-cita negara. GBHN yang memuat haluan penyelenggaraan negara ini dirancang dan disahkan MPR yang saat itu masih menjadi lembaga tertinggi negara.
Di dalamnya juga tercantum visi untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera dalam wadah NKRI.
Semua gambaran ideal soal GBHN versi politikus itu disebut ahli hukum tata negara Refly Harun tak lebih sebagai jebakan romantisme.
Mereka yang setuju ditengarai menganggap GBHN dapat menjadi pedoman untuk pembangunan yang stabil dan berkelanjutan seperti masa Orde Baru.
Refly menyebut pembangunan masa Orde Baru hanya pencapaian yang seolah-olah stabil dengan sistem keberlanjutan.
“Sustainability dulu terjaga karena presidennya enggak ganti-ganti. Kekuasaan pemerintahan otoriter,” ujar Refly
Dia tak menampik perencanaan dan pencapaian pembangunan Orde Baru. Namun, pencapaian itu pun berujung kebangkrutan karena praktik korupsi merajalela.
Menghidupkan kembali GBHN juga disebutnya bermasalah secara ketatanegaraan. Indonesia setelah reformasi memiliki sistem ketatanegaraan yang sangat berbeda dengan Indonesia era Soeharto.
Di masa Orde Baru MPR berstatus lembaga tertinggi. Menghidupkan kembali GBHN berpotensi mengembalikan derajat MPR. Padahal, kata Refly, saat ini kekuasaan tertinggi berdasarkan konstitusi.
“Jadi MPR bukan lagi kewenangan tertinggi, sistem kita check and balances. Bercabang-cabang di berbagai lembaga negara, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, semua sejajar,” ujar Refly.
Kekhawatiran MPR kembali jadi lembaga tertinggi memang cukup beralasan. Setidaknya hal itu sudah disuarakan oleh PDIP dalam rekomendasi Kongres V di Bali, pekan lalu.
Kongres V PDIP tersebut merekomendasikan agar MPR kembali diberikan kewenangan menetapkan GBHN.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut presiden harus tetap dipilih rakyat sebagai bentuk kedaulatan rakyat. Namun, kata Hasto, diperlukan garis besar yang ditetapkan MPR sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia.
Refly menambahkan penyusunan serupa haluan pembangunan nasional selama ini telah diakomodasi melalui Undang-undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Berbeda dengan GBHN yang disusun dan disahkan MPR, SPPN disusun oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
“Kalau memang butuh guidelines apa tidak bisa melalui UU Perencanaan Pembangunan? Kalau pun tidak masuk (ke UU itu) bisa saja dalam UU tentang garis besar bernegara,” katanya.
Selain itu, lanjut Refly, harus dipikirkan kembali mekanisme penegakan hukum jika GBHN kembali dihidupkan. Belum lagi jika GBHN bertentangan dengan UUD 1945.
Refly menuturkan selama ini Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga konstitusi tertinggi hanya berwenang menguji UU bukan UUD.
“Bagaimana mekanisme hukumnya kalau ada pelanggaran. Siapa yang memberi sanksi karena sanksi bisa administrasi, politik, pidana. Kalau bertentangan dengan UUD juga, selama ini kan MK hanya menguji UU,” ucap dia.
Editor: Hendra Wijaya
Cek berita dan artikel yang lain di Google News