SULSELSATU.com, JAKARTA – Jumlah utang pemerintah pada Juli 2019 menembus Rp4.603,62 triliun. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, utang tersebut meningkat Rp33,45 triliun dibanding Juni 2019.
Pada Juni 2019 lalu, utang pemerintah menyentuh angka Rp4.570,17 triliun.
Posisi jumlah utang meningkat sejalan dengan kenaikan pembiayaan dari surat utang atau obligasi dari dalam negeri. Dalam laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Juli 2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah mau tidak mau kembali menambah utang karena tengah menjalankan kebijakan fiskal yang ekspansif.
Baca Juga : Utang RI Tembus Rp7.733 Triliun, Kebut Target Jadi Negara Maju 2045
Kebijakan ini memungkinkan pemerintah untuk melakukan belanja negara yang lebih besar dibanding pendapatan.
“Sehingga, untuk menutupi kekurangan anggaran tersebut, pemerintah harus mencari alternatif sumber pembiayaan lain. Salah satunya, dengan utang,” dikutip dari Laporan APBN 2019 per Juli 2019, Senin (26/8/2019).
Lebih lanjut, peningkatan jumlah utang terjadi karena pemerintah menambah pembiayaan utang dari dalam negeri. Penambahan dilakukan dengan meningkatkan pinjaman utang dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan Surat Berharga Sukuk Negara (SBSN) di dalam negeri.
Baca Juga : Tahun 2023 Harga Eceran Rokok Dipastikan Naik, Ini Daftarnya
“Pemerintah berkomitmen untuk lebih mengutamakan utang domestik dibandingkan dengan pinjaman luar negeri sesuai yang digariskan dalam strategi pembiayaan jangka menengah,” terangnya.
Bendahara negara memaparkan hal ini sengaja dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan belanja, namun turut menjaga pengelolaan APBN yang lebih kredibel. Selain itu, untuk turut meningkatkan pendalaman pasar keuangan di Tanah Air.
Lebih lanjut, posisi jumlah utang saat ini setara dengan 29,51 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mencapai Rp15.599,01 triliun. Meski kian mendekati batas 30 persen dari PDB, namun Sri Mulyani memastikan jumlah utang tidak akan melebihi batas itu.
Baca Juga : Kemenkeu Mengajar Berlangsung pada Lima Sekolah di Makassar untuk Peringati Hari Oeang Republik Indonesia
Ia ingin batas aman tetap dijaga dengan sebaik-baiknya supaya risiko utang minim. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Luky Alfirman menambahkan pemerintah sengaja menerbitkan surat utang yang banyak, demi mengantisipasi perkembangan ekonomi global dan domestik yang sedang bergejolak.
Gejolak tersebut diantisipasi pemerintah dengan kebijakan penerbitan surat utang di awal tahun atau dikenal dengan istilah front loading.
“Kenaikan realisasi SBN neto merupakan bagian dari strategi front loading dalam memanfaatkan situasi pasar keuangan di semester I yang masih kondusif,” ujar Luky di Kementerian Keuangan, Jakarta, seperti dilansir CNNIndonesia.
Baca Juga : Sukses Pajaki Netflix Cs, Kemenkeu Bidik TikTok hingga Alexa
Kendati jumlah posisi utang meningkat, namun pemerintah mengatakan nilai utang turun belakangan ini. Penurunan terjadi berkat penguatan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir.
Data Kementerian Keuangan mencatat penguatan kurs rupiah sebesar Rp115 pada Juli 2019. “Ini menyebabkan ada penurunan nilai posisi utang akibat selisih kurs senilai Rp21,46 triliun,” terangnya.
Secara rinci, jumlah utang pemerintah berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp775,3 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp7,42 triliun. Lebih rinci, pinjaman luar negeri terdiri dari skema bilateral Rp308,63 triliun, multilateral Rp428,69 triliun, dan komersial Rp37,99 triliun.
Baca Juga : Jaga Daya Beli, Pemerintah Siapkan Rp13 T Bantu Pekerja Bergaji Rp5 Juta
Lalu posisi utang juga berasal dari SBN berdenominasi rupiah senilai Rp2.788,3 triliun yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) Rp2.310,62 triliun dan SBSN Rp477,68 triliun. Kemudian, juga berasal dari SBN berdenominasi valuta asing (valas) Rp1.032,6 triliun, terdiri dari SUN Rp819,41 triliun dan SBSN Rp213,2 triliun.
Sementara per 31 Juli 2019, pembiayaan utang di APBN mencapai Rp234,13 triliun atau 65,2 persen dari target Rp359,25 triliun. Pembiayaan utang itu terdiri dari SBN Rp241,19 triliun dan pinjaman minus Rp7,05 triliun.
“Pinjaman yang mencapai angka negatif disebabkan oleh realisasi pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri yang lebih besar dari penarikan pinjaman luar negeri, namun untuk pinjaman dalam negeri yang penarikannya lebih besar dibandingkan pembayaran cicilan pokoknya,” terangnya.
Editor: Awang Darmawan
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar