Aturan Baru di RKUHP, Wartawan dan Warganet yang Hina Presiden Dipenjara 4,5 Tahun
SULSELSATU.com, JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengkritik sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR. Salah satu pasal tersebut memuat ancaman penjara bagi orang yang dianggap menghina presiden.
Mereka menilai aturan dalam sejumlah pasal tersebut mengancam kebebasan pers.
AJI dan LBH Pers telah mencatat sedikitnya 10 pasal dalam RKUHP yang bisa mengancam kebebasan pers dan mengkhawatirkan adanya kriminalisasi wartawan.
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito, menilai 10 pasal ini merupakan pasal karet atau bisa digunakan secara subjektif dan sewenang-wenang.
“Kami khawatir kriminalisasi terhadap wartawan semakin banyak,” katanya, seperti dikutip dari BBC Indonesia, Rabu (4/9/2019).
Sasmito mengklaim, sejak 2016 organisasinya telah melayangkan protes ke DPR untuk mencabut pasal-pasal yang dianggap bisa mengancam kebebasan pers.
Tapi, hingga menjelang pengesahannya, sejumlah pasal yang diprotes tetap dipertahankan DPR.
“Kita tidak melihat upaya dari pemerintah dan DPR untuk merawat kebebasan pers. Ini langkah yang kontradiktif terhadap kebebasan pers di Indonesia,” katanya.
Dalam lima tahun terakhir, menurut catatan AJI Indonesia, setidaknya ada 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis.
Umumnya jurnalis ini dituduh menyebar fitnah dan pencemaran nama baik, menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Reporters Without Borders for Freedom of Information(RSF) menempatkan indeks kebebasan pers di Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara selama tiga tahun berturut-turut. Artinya, indeks kebebasan pers di Indonesia jalan di tempat.
“Peringkat tingkat kebebasan pers di tingkat internasional bisa menurun, dan bisa lebih buruk lagi,” lanjut Sasmito.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi Hukum DPR, Taufiqulhadi memastikan RKUHP tetap akan disahkan dalam rapat paripurna akhir bulan ini meskipun diwarnai protes.
“Kalau memang ada pasal-pasal yang kita anggap belum sempurna, maka itu ada kesempatan diperbaiki, apakah kita lakukan judicial review. Setelah disahkan, selalu ada kita untuk memperbaikinya,” katanya.
Editor: Awang Darmawan
Cek berita dan artikel yang lain di Google News