Oleh : Nurasia, S.Pd. (Aktivis Muslimah)
Salah satu berita hangat yang ikut memeriahkan bulan kemerdekaan negara Indonesia adalah terkait teriakan Papua merdeka. Berbagai peristiwa memprihatinkan pun terjadi seperti kerusuhan yang disinyalir disebabkan oleh pernyataan rasis di provinsi Papua dan Papua Barat, kasus Polwan pemberi miras ke asrama mahasiswa Papua dan yang terbaru mahasiswa Papua teriak referendum di seberang istana. Kalangan akademisi dan politikus ikut berkomentar mengenai hal tersebut.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komarudin Hidayat menyebut ada pihak-pihak yang merasa senang apabila melihat Papua dan Papua Barat terlepas dan memisahkan diri dari Indonesia. Hal itu ia katakan untuk merespon menyusul terjadinya kerusuhan akibat pernyataan rasis yang terjadi di provinsi Papua dan Papua Barat belakangan ini,(CNN Indonesia, 24/08/2019). Tanggapan lain pun dilontarkan oleh mantan calon wakil presiden Sandiaga Uno yang menganggap wajar jika masyarakat Papua marah karena ketimpangan ekonomi yang ada tergolong memprihatinkan. Sandi menyebut tingkat kemiskinan masyarakat Papua delapan kali lipat dibanding warga Jakarta. Padahal, lanjutnya, daerah mereka begitu kaya dengan berbagai jenis sumber daya alam (CNN Indonesia, 22/08/2019).
Di Balik Teriakan Papua Merdeka
Baca Juga : VIDEO: Ribuan Siswa SMA di Wamena Demo Tolak Program Makanan Bergizi Gratis
Rusuh Papua bukanlah rusuh biasa, dan ini terjadi bukan kali pertama dan bukan hal yang baru. Setelah sebelumnya sekitar tiga ratus mahasiswa Papua melakukan unjuk rasa di Bundaran HI pada 1 Desember 2014 silam dengan meneriakkan “Papua Merdeka” namun tidak tampak tindakan tegas meski unjuk rasa dibubarkan oleh aparat. Baru-baru ini kembali diberitakan Papua teriakkan referendum di seberang istana dan kembali tidak tampak tindakan tegas dari aparat negara. Upaya pemisahan Papua bisa kita lihat salah satunya dengan aksi aksi non kekerasan yang meneriakkan kemerdekaan Papua. Ditambah lagi terus mendesakkan referendum penentuan nasib sendiri untuk rakyat Papua. Permasalahan rakyat Papua ini sudah ada sejak dahulu, namun sampai hari ini tindakan tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan tidak terlihat. Ada apa dengan negeri ini?
Upaya pemisahan Papua bisa kita lihat melalui jalur politik dan internasionalisasi isu Papua. Internasionalisasi dimulai pada April 2013 silam saat Benny Wenda membuka kantor organisasi Free West Papua di Oxford Inggris. Kemudian disusul pembukaan kantor di Belanda, Australia dan negara Malanesia. Selanjutnya pembukaan kantor United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Vanautu dan Solomon Island, lalu dilanjutkan dengan klaim peresmian di Wamena. Internasionalisasi isu Papua adalah usaha untuk mendesakkan referendum penentuan nasib sendiri oleh rakyat Papua. Sementara tidak adanya tindakan tegas pemerintah akan semua peristiwa ini seolah menunjukkan lemahnya pemerintah yang tampak membiarkan upaya disintegrasi (pemecahbelahan) Indonesia. Saat Free West Papua dan tokohnya membuka kantor di Inggris, pemerintah hanya melayangkan protes dan meminta penjelasan, demikian halnya pembukaan kantor di Australia dan Belanda. Padahal negara-negara imperialis hanya mendiamkan pembukaan kantor tersebut namun kerjasama pemerintah Indonesia justru makin erat dengan mereka.
Adanya campur tangan asing dalam upaya pemisahan Papua, harus dipahami semua pihak dan negara-negara imperialis tidak akan membiarkan Indonesia utuh. Mereka akan selalu melakukan konspirasi untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka. Semestinya kita bisa belajar dari kasus Timor Timur yang terbukti sukses memisahkan diri dari Indonesia buah nilai penting demokrasi , yaitu hak menentukan nasib sendiri. Hal serupa saat ini tengah disuarakan masyarakat Papua. Bisa kita bayangkan akan jadi apa negeri ini jika terbagi menjadi wilayah-wilayah kecil yang tidak berdaya, maka akan tertawa hebatlah para kapitalis Barat. Hal ini juga tidak terlepas dari kegagalan rezim mensejahterakan Papua padahal SDA di sana sangat melimpah. Terbukti dari pembiaran oleh rezim yang meloloskan berbagai UU Liberal sebagai jalan masuknya perusahaan asing seperti Freeport yang menguras dengan puas kekayaan alam Papua. Akar masalah konflik di Papua sesungguhnya disebabkan oleh penerapan sistem kapitalis yang berbuah ketidakadilan.
Papua merdeka bukan solusi, justru memperkuat cengkraman Amerika. Seperti yang dijelaskan Komaruddin Hidayat bahwa akan ada pihak yang senang dengan terlepasnya Papua. Sesungguhnnya ini hanyalah kepentingan sebagian elit politik yang bekerjasama dengan negara negara imperialis. Meminta bantuan negara-negara imperialis untuk memisahkan diri sama saja bunuh diri dan justru makin melemahkan Papua. Mereka akan semakin leluasa menguasai kekayaan Papua.
Solusi Islam untuk Papua
Satu-satunya jalan keluar dari persoalan ini ialah menghapuskan sistem demokrasi kapitalis di Indonesia dan di muka bumi. Selanjutnya menerapkan sistem dari Allah, sistem Islam, sistem terbaik dari Sang Khaliq. Sistem yang tidak akan memberikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kuam mukmin. Sistem yang memposisikan pemerintah sebagai pengurus rakyat, menjamin kesejahteraan rakyat tanpa pandang bulu. Kekayaan alam dijadikan milik umum, dan tidak akan membiarkan swasta untuk ikut menguasainya apalagi asing, haram hukumnya. Negara mengelola kekayaan alam untuk kepentingan rakyat, yang dihimpun di kas negara dan selanjutnya didistribusikan merata. Semua untuk kesejahteraan rakyat, mulai dari menjamin pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan serta pendidikan dan kesehatan gratis bagi rakyat.
Islam mewajibkan negara menjaga pemerataan kekayaan dan keseimbangan perekonomian di antara daerah. kesenjangan dan ketimpangan akan dapat terselesaikan dengan Islam. Masalah Papua hanya akan bisa kita selesaikan dengan menghilangkan ketidakadilan yang terjadi, mengelola kekayaan alam untuk kepentingan rakyat, dan mendistribusikan kekayaan dengan adil. Penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh hanya akan kita dapati dalam Khilafah Islamiyah. Islam yang memberi kebaikan bukan hanya bagi kaum muslim, tapi juga kaum non muslim yang berada dalam wilayah daulah dan patuh. Walhasil, Papua hanya akan sejahtera dalam naungan Islam dan Khilafah.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar