SULSELSATU.com, JAKARTA – Hasrat Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia mustahil terwujud. Gaungan referendum tokoh separatis Papua, Benny Wenda di kancah internasional hanya buang-buang waktu.
Tidak ada celah bagi Papua untuk referendum, baik ditilik dari hukum nasional maupun hukum internasional.
Baca juga: Papua-temui-jokowi-di-istana-ini-sembilan-tuntutannya.html">61 Tokoh Papua Temui Jokowi di Istana, Ini Sembilan Tuntutannya
Baca Juga : Rayakan Semangat Kemerdekaan, Bank Mandiri Dorong Peningkatan Kesehatan di Jayapura
“Bukan hanya hukum nasional yang melarang referendum bagi Papua, melainkan juga hukum internasional,” ujar guru besar hukum internasional Universitas Diponegoro, Eddy Pratomo, kepada wartawan pekan lalu seperti dikutip dari CNNIndonesia.
Eddy kemudian menjelaskan bahwa berdasarkan hukum internasional, referendum menentukan nasib sendiri hanya dapat dilakukan dalam konteks kolonialisme, atau wilayah terkait masuk dalam daftar Wilayah Perwalian dan Non-Pemerintahan-Sendiri yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Baca Juga : VIDEO: Banjir Bandang di Kawasan PT Freeport Indonesia
“Papua sudah jelas tidak bisa masuk dalam daftar tersebut karena sama saja seperti memasukkan bayi ke dalam rahim ibunya lagi. Tidak mungkin,” tutur Eddy.
Sementara itu, jika ditilik dari konteks kolonialisme, Papua sendiri sudah secara otomatis ikut merdeka dengan Indonesia ketika Sukarno membacakan proklamasi pada 17 Agustus 1945.
Baca Juga : VIDEO: Salut! Ibu-ibu dan Anak-anak di Papua Bantu Tarik Pesawat yang Tergelincir
Menurut Eddy, Papua secara otomatis menjadi daerah kekuasaan Indonesia berdasarkan prinsip Uti Possidetis Juris. Ini adalah prinsip penetapan batas-batas negara yang baru merdeka dari penjajahan dengan memastikan wilayahnya kembali.
“Wilayah-wilayah koloni dulu itu kalau merdeka, itu harus wilayah yang batas-batasnya itu batas wilayah koloni, makanya Malaysia enggakmasuk, Singapura enggak masuk, karena mereka bukan jajahan Belanda,” ucap Eddy.
Menegaskan maksudnya, Eddy kemudian menuturkan “Sehingga pada saat Indonesia merdeka, itu harus termasuk Irian Jaya, tidak boleh dipisah.”
Baca Juga : VIDEO: Viral, Seorang Pria di Papua Nekat Naiki Kepala Seekor Paus Tutul
Eddy lantas mematahkan argumen sejumlah pihak yang menyatakan bahwa Papua tidak pernah mengakui proklamasi 1945 dan tidak ikut dalam perjuangan kemerdekaan RI.
“Ini sangat mudah dipatahkan. Orang Batak, orang Padang, itu juga tidak pernah ada deklarasi mengakui proklamasi, tapi mereka bagian dari Indonesia berdasarkan prinsip Uti Possidetis Juris,” kata Eddy.
Ia juga mematahkan argumen bahwa Papua adalah bagian dari Belanda dengan nama Netherlands New Guinea berdasarkan konstitusi Negeri Kincir Angin pada 1898.
Baca Juga : VIDEO: Pemuda Beragama Kristen di Papua Tanggapi Pernyataan Menag: Suara Adzan Sebagai Alarm Paten
“Kami sudah meneliti, tidak ada yang menyebutkan itu dalam konstitusi 1898. Lagipula, Indonesia merdeka tahun 1945. Pada waktu Indonesia merdeka, konstitusi yang berlaku di Belanda itu konstitusi 1938. Pasal 1 konstitusi itu menyebut Kerajaan Belanda termasuk Indonesia, tidak ada khusus Papua,” ucap Eddy.
Eddy mengakui bahwa Belanda memang sempat memasukkan nama Netherlands New Guinea dalam konstitusi. Namun kemudian, Indonesia marah hingga akhirnya pihak internasional datang untuk menengahi.
“Kemudian konstitusi itu dihapus pada 1963 karena ada Kesepakatan New York 1962,” tutur Eddy.
Berlandaskan kesepakatan tersebut, Indonesia juga diwajibkan menggelar referendum yang dikenal dengan nama Penentuan Pendapat Rakyat Papua (Pepera).
Meski banyak dugaan kecurangan, hasil Pepera menunjukkan warga Papua ingin bergabung dengan Indonesia.
Eddy mengakui ada banyak pihak yang mempertanyakan keabsahan Pepera karena tidak menggunakan sistem one man one vote. Namun menurut Eddy, metode pemungutan suara ini sudah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Papua.
“Ternyata, dalam Kesepakatan New York, sistem voting seperti apa itu harus dikonsultasikan dengan tokoh-tokoh adat dulu, baru nanti dilaporkan. Jadi perjanjiannya sendiri tidak menentukan harus one man one vote. Tokoh adat memutuskan pakai perwakilan,” tutur Eddy.
Di luar semua perang klaim ini, secara umum ada dua syarat bagi satu wilayah untuk memisahkan diri berdasarkan hukum internasional.
“Ada dua syarat, harus ada konstitusi di negara induk dan mendapatkan pengakuan internasional. Papua kalau memisahkan diri harus ada proses konstitusional, padahal undang-undang kita tidak mengatur pemisahan diri. Kalau mau ada, harus diubah UUD 1945,” kata Eddy.
Editor: Hendra Wijaya
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar