DPR Bakal Sahkan RKUHP 24 September
SULSELSATU.com, JAKARTA – Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) telah menyelesaikan pembahasan RKUHP pada Minggu (15/9/2019) malam. Rencananya, RKUHP itu akan disahkan pada 24 September 2019.
“Panja DPR berhasil menyelesaikan pembahasan RKUHP untuk menggantikan KUHP lama peninggalan kolonial,” kata anggota Panja RKUHP Taufiqulhadi dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/9/2019).
Dia menerangkan, RKUHP akan terlebih dahulu dibawa ke Komisi III DPR sebelum dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk mendapatkan pandangan mini dari fraksi-fraksi.
“Hasil panja ini akan dibawa ke Komisi III untuk mendapat pandangan mini fraksi sebelum dibawa ke paripurna,” ucap dia.
Terpisah, Panja RKUHP Arsul Sani mengakui perumusan RKUHP dengan pemerintah sudah digelar secara tertutup di Hotel Fairmont, Senayan, Jakarta Selatan pada 14 hingga 15 September.
Arsul berdalih, rapat perumusan dilakukan secara tertutup karena tak harus digelar secara terbuka.
“Kalau rapat yang harus terbuka, itu kan kalau rapat pembahasan, debat,” kata Arsul.
Dia mengklaim, pembahasan dan perumusan RKUHP telah selesai. DPR, menurutnya, tinggal menyempurnakan beberapa penjelasan pasal. Anggota Komisi Hukum DPR RI itu pun menegaskan, substansi RKUHP telah selesai.
“Kalau urusan politik hukumnya, urusan substansinya, RKUHP sudah selesai. Yang belum tinggal tentu ada beberapa soal redaksional dan ini lebih kita serahkan kepada ahli bahasa,” ucap Arsul kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (16/9/2019).
Arsul melanjutkan, penjelasan makna dari setiap pasal juga akan diperjelas agar tidak bersifat karet. Ia mencontohkan, pasal yang diperjelas itu salah satunya terkait makna kesusilaan.
Tahapan selanjutnya, DPR akan menyerahkan pada ahli bahasa dari DPR dan pemerintah untuk memperbaiki redaksional pasal-pasal. Setelah itu, katanya, akan dilakukan pengambilan keputusan di tingkat pertama melalui Pleno Komisi III, lalu dibawa ke Rapat Paripurna.
“Selesai. Terus baru dibawa ke paripurna” kata Arsul.
Namun, Arsul belum memastikan RKUHP bakal dibawa ke Rapat Paripurna terakhir pada 24 September.
Sebelumnya, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyebut pemerintah memiliki mental penjajah karena berusaha membangkitkan pasal-pasal antidemokrasi dalam RKUHP.
Salah satu pasal yang disoroti adalah pasal 223 dan 224 soal larangan penyerangan terhadap harkat martabat presiden dan wakil presiden. Dua pasal itu mengancam orang yang menghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.
Selain pasal penghinaan presiden, Aliansi juga menyoroti pasal-pasal yang memidanakan makar, seperti pasal 195, 196, dan197. Berkaca dari peristiwa reformasi 1998 dan akhir-akhir ini, Aliansi berujar pasal itu hanya akan jadi bentuk antidemokrasi pemerintah.
“Seharusnya definisi makar, serangan, bisa memakai senjata tajam atau pistol sejenisnya. Ini menjadi pasal karet yang orang ngomong dikit-dikit saja dibilang makar, mengkritik pemerintah dibilang makar,” ujar dia.
Aliansi juga mengkritik pemidanaan terhadap penodaan agama dalam RKUHP.
Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan negara tidak berhak mengatur keyakinan yang jadi wilayah privasi warga negara.
Aturan soal penodaan agama tercantum dalam Pasal 313 RKUHP. Di sana diatur setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penistaan terhadap agama diancam penjara maksimal lima tahun.
Editor: Awang Darmawan
Cek berita dan artikel yang lain di Google News