SULSELSATU.com, JAKARTA – Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mendesak agar hukuman bagi enam anggota Polres Kendari yang terbukti bersalah membawa senjata api diperberat. Menurut dia, sanksi disiplin berupa penundaan kenaikan gaji hingga kenaikan pangkat tidak setimpal dengan kesalahan yang dilakuan.
“Hukuman disiplin kepada enam orang ini harus setimpal dengan kesalahan yang sudah diperbuat,” kata Beka kepada wartawan di kantor Komnas HAM, Jakarta, seperti dikutip dari CNNIndonesia, Rabu (30/10/2019).
Menurut Beka, polisi juga perlu mengusut dan mencari tahu kebenaran dari peristiwa yang terjadi di Kendari, termasuk memastikan penembak dua korban tewas yang merupakan mahasiswa dalam aksi unjuk rasa tersebut.
Baca Juga : Warga Adukan Vale ke Komnas HAM, Ketua KWAS Sebut Bukan Representasi Masyarakat Sorowako
“Kesalahan yang diperbuat ini pertama kan harus dijawab, apakah enam orang ini benar yang menembak dua orang itu. Itu yang kemudian kami ingin ketahui lanjut,” tambah dia.
Menurut Komnas HAM, salah satu korban meninggal sudah dipastikan terkena peluru tajam. Pihaknya pun sudah membentuk tim pencari fakta untuk mengusut rentetan peristiwa yang terjadi pada bulan September lalu di beberapa wilayah Indonesia itu.
Komnas HAM juga mengatakan ada kemungkinan jumlah korban tewas bertambah.
Baca Juga : Intimidasi hingga Pemotongan Gaji, Pekerja China Adukan IMIP ke Komnas HAM
“Masih simpang siur, karena ada data yang masuk ke kami meninggal 3 orang di Jakarta Barat. Tapi namanya berbeda. Nah ini kami sedang mengkonfirmasi,” tambah dia.
Sebelumnya, Tim investigasi dari Mabes Polri memeriksa enam personel jajaran Polda Sulawesi Tenggara yang diduga melakukan kesalahan standar operasional prosedur (SOP) pengamanan demo mahasiswa tolak pengesahan RKUHP, UU KPK, dan RUU kontroversial lain yang menyebabkan korban jiwa di Kendari.
Korban meninggal dunia pada 26 September lalu itu adalah dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Randi (21) dan Muh Yusuf Kardawi (19). Randi tewas karena tembakan peluru, sementara Kardawi yang sempat kritis kehilangan nyawa akibat luka disebabkan benda tumpul.
Baca Juga : Mendibud Nadiem Makarim Diadukan ke Komnas HAM oleh Mahasiswa
Tim investigasi Divisi Profesi dan Pengamanan Polri menduga enam orang personel dari Polda Sultra dan Polres Kendari melakukan pelanggaran SOP, yakni membawa senjata api saat pengamanan unjuk rasa di gedung DPRD Sultra, Kamis (26/9).
Mereka adalah AKP DK, Bripka MA, Bripka MI, Brigadir AM, Briptu H dan Bripda F. Keenamnya dinyatakan melanggar pasal 4 huruf D, F dan L Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.
Kasubbid Penmas Polda Sultra Kompol Agus Mulyadi menyatakan AKP DK menjalani sidang terpisah dengan lima orang bintara lainnya.
Baca Juga : Polisi Tetapkan Tersangka Penembak Dua Mahasiswa Kendari
Atas pelanggaran SOP itu, kelimanya diberi hukuman disiplin teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun, penundaan pendidikan selama satu tahun dan penempatan di tempat khusus selama 21 hari.
“Pelanggaran disiplin sudah paling berat. Mengenai kode etik nanti dilihat terkait tindak pidananya,” ujarnya.
Menurut Agus, masalah penggunaan senjata yang diduga ditembak ke mahasiswa menjadi kewenangan tim Bareskrim untuk melakukan penyelidikan.
Baca Juga : Keluarga Randi Kecewa 6 Polisi di Kendari Dihukum Ringan
Meski putusan disiplin telah keluar, ia memastikan kasus pidananya yang sementara berproses akan terus berjalan.
Rilis Temuan Kerusuhan 21-23 Mei
Tim Pencari Fakta (TPF) Komnas HAM mengklaim tidak menemukan indikasi pelanggaran HAM berat dalam penembakan terhadap sembilan warga sipil dalam unjuk rasa pada 21-23 Mei 2019.
Komnas HAM hanya menegaskan bahwa pihaknya menemukan ada orang terlatih yang melakukan penembakan terhadap sembilan korban tersebut.
“Kami tidak menemukan indikasi pelanggaran HAM yang berat yang mekanisme penyelesaian masalahnya adalah UU no 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM,” kata Beka.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan hukum yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Undang-Undang ini mengatur Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
“Pelanggaran hak asasi yang berat meliputi; a. Kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan,” tulis Pasal 7 seperti dikutip dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000.
Lihat juga: KontraS: Yusuf Kardawi Meninggal Diduga Akibat Luka Tembak
Komnas HAM sendiri mengungkapkan telah melakukan pemeriksaan mendalam mengenai temuan peluru yang digunakan oleh penembak dalam peristiwa tersebut. Beka memastikan, berdasarkan keterangan polisi, peluru yang digunakan bukan berasal dari pihak kepolisian.
Hal itu diungkapkan setelah pihaknya melakukan penelusuran terhadap hasil uji laboratorium forensik, kepolisian, dan juga komandan satuan yang bertugas saat itu.
“Makanya itu kami mengambil kesimpulan bahwa (peluru) ini bukan dari kepolisian,” jelas Beka.
Rekomendasi hasil penyelidikan melalui TPF Komnas HAM akan diputuskan oleh kepolisian dan presiden Joko Widodo. Menurutnya, Komnas HAM tidak memiliki kemampuan untuk menyelidiki lebih dalam, seperti motif ataupun dalang dari penembakan tersebut.
Editor: Awang Darmawan
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar