PKS Tolak Rencana Penambahan Masa Jabatan Presiden Jadi Tiga Periode

PKS Tolak Rencana Penambahan Masa Jabatan Presiden Jadi Tiga Periode

SULSELSATU.com, JAKARTA – Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sohibul Iman menolak rencana perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode dalam amendemen Undang Undang Dasar 1945. Ia menuturkan hal tersebut bisa menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.

“PKS menolak wacana perpanjangan kekuasaan presiden dan wakil presiden tiga periode,” ujar Sohibul di Kantor DPP PKS, Jakarta, seperti dikutip dari CNNIndonesia, Rabu (27/11/2019).

Sohibul menegaskan penolakan itu jadi salah satu syarat dari PKS sebelum menyetujui amendemen konstitusi oleh MPR. Klaim Sohibul, PKS berkomitmen untuk menjaga semangat reformasi dan demokrasi. 

Dia berkata reformasi telah membatasi kekuasaan presiden dan wapres. “Bukan memperbesar kekuasaan, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan,” ujarnya.

Perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden mengemuka seiring rencana amendemen UUD 1945. 

Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengungkapkan terdapat usulan lain yakni masa jabatan presiden diubah menjadi satu periode saja, namun dengan durasi 8 tahun kepemimpinan.

Sohibul mengingatkan bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi akan cenderung korup. Masa jabatan presiden dan wakil presiden selama dua periode yang berlaku saat ini, dinilainya sudah tepat penyalahgunaan kekuasaan.

“Saya kira kaidah-kaidahnya sudah paham semuanya bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut biasanya korupnya juga absolut,” ujar Sohibul.

Selain menolak penambahan periode jabatan presiden, Sohibul menyampaikan PKS menolak wacana pemilihan presiden dan wapres oleh MPR. 

PKS tetap menginginkan pemilihan presiden dan wapres dipilih secara langsung oleh rakyat.

“Pemilihan presiden dan wapres oleh MPR adalah langkah mundur demokrasi dan menghilangkan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya,” ujarnya.

Selain itu, PKS mendorong amendemen pasal 2 ayat 3 UUD 1945 tentang MPR. Pasal 1 ayat 3 berbunyi: Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.

Sohibul berkata yang harus dikedepankan adalah musyawarah mufakat, bukan suara terbanyak. Terlebih, MPR adalah lembaga permusyawaratan sehingga sudah seharusnya mengedepankan musyawarah dalam mengambil sebuah keputusan. 

Jika tidak terpenuhi mufakat, lanjut Sohibul, baru kemudian diputuskan berdasarkan suara terbanyak. “Jadi kami memandang pasal ini itu jumping,” ujarnya.

Sohibul pun mengingatkan amendemen UUD 1945 harus didasarkan pada aspirasi dan kehendak rakyat. Dia berkata amendemen UUD 1945 bukan didasarkan oleh kepentingan elit atau kelompok tertentu.

Amendemen UUD 1945, kata dia, juga harus melibatkan ahli-ahli di bidangnya. “Sebagaimana pernah bangsa Indonesia lakukan pada amendemen UUD 1945 I, II, III, dan IV pada periode 1999-2002 pasca reformasi 1998,” ujarnya.

Editor: Awang Darmawan

Cek berita dan artikel yang lain di Google News

Berita Terkait
Baca Juga