Pengerahan Prajurit TNI ke Nduga Papua Dianggap Langgar UU Pertahanan Negara
JAKARTA – Pengerahan prajurit TNI ke Nduga, Papua, dalam rangka operasi militer dianggap melanggar Undang Undang Pertahanan Negara.
“TNI tidak bisa digunakan begitu saja tanpa persetujuan DPR atau proses politik negara. Ini ada di UU Pertahanan,” kata Direktur Eksukutid Amensty Internasional Usman Hamid di Graha Oikumene, Jakarta, seperti dilansir dari CNN Indonesia, Selasa (21/1/2020).
Dalam Pasal 14 ayat (4) UU tersebut menjelaskan pengerahan kekuatan TNI untuk menghadapi ancaman bersenjata harus mendapat persetujuan DPR. Hal itu, menurut Usman, tidak dilakukan oleh pemerintah.
Disebutkan Usman, UU Pertahanan memang menyebut presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI dalam keadaan memaksa. Namun presiden tetap harus mengajukan persetujuan kepada DPR paling lambat dalam waktu 2×24 jam. Itu diatur dalam Pasal 14 ayat (5) UU Pertahanan Negara.
Pasal 14 ayat (5) UU Pertahanan Negara berbunyi, “Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui pengerahan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Presiden menghentikan pengerahan operasi militer”.
Keberadaan personel TNI di Nduga sebelumnya mendapat kritik banyak pihak. Bupati Nduga Yairus Gwijangge sejak lama telah meminta kepada pemerintah agar segera menarik personel TNI di wilayahnya.
Bahkan Wakil Bupati Nduga Wentius Nimiangge mengundurkan diri dari jabatannya beberapa waktu lalu karena pemerintah tak kunjung menarik personel TNI di Nduga.
Usman menuturkan pengerahan personel TNI harus dilakukan sesuai ketentuan untuk menjaga warga tetap kondusif. Menurutnya, pemerintah maupun aparat harus memastikan bahwa operasi militer itu tak berdampak pada kelangsungan hidup warga yang tinggal di dalamnya.
Sebab, sejak operasi militer di Nduga dan sejumlah wilayah di Papua pada Desember 2018 banyak warga justru memilih meninggalkan tempat tinggalnya dan mengungsi ke wilayah lain.
“Harus dilakukan dengan proporsional. Kalau memang mengejar KKB [Kelompok Kriminal Bersenjata], dipastikan masyarakat tidak terkena dampaknya karena tahun lalu warga yang mengungsi sampai ribuan kan,” katanya.
Penanganan buruk pemerintah di Papua, lanjut Usman, juga terjadi saat pembatasan akses internet di tengah kerusuhan tahun lalu. Ia mencatat ada tiga kali pembatasan akses internet sepanjang 2019.
Alih-alih meredam kerusuhan yang terjadi, sikap itu justru dikatakan menyulitkan warga dan dunia usaha.
“Jadi harus proporsional. Masyarakat kan berhak menyampaikan informasi tapi langkah itu justru menyulitkan dan menjauhkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah,” ucap Usman.
Editor: Hendra Wijaya
Cek berita dan artikel yang lain di Google News