Pemerintah Belum Serahkan Draft Omnibus Law ke DPR
SULSELSATU.com, JAKARTA – Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin menyatakan hingga saat ini pemerintah belum menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law ke DPR.
“Omnibus Law itu belum dirapimkan, belum masuk secara resmi. Kita belum terima di dalam,” ujar Aziz di kompleks parlemen, Jakarta, seperti dikutip dari CNNIndonesia, Jumat (7/2/2020).
Dengan demikian, kata Aziz, pihaknya belum bisa merespons sejumlah kendala atau kekhawatiran dalam draf Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja maupun tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian.
“Draf dan naskah akademisnya belum diterima, sehingga belum bisa berbicara lebih jauh,” ujar politikus Golkar itu.
Ia melanjutkan jika draf tersebut sudah diterima DPR akan dibahas dalam rapat pimpinan (rapim). Setelah itu badan musyawarah (bamus) bakal mengagendakan rapat paripurna (rapur) untuk membahas draf itu.
Omnibus Law mendapat kritik dari sejumlah elemen. Kelompok buruh, misalnya, khawatir Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) bakal jadi alat pemerintah mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial.
“Keseluruhan proses sangat tertutup, tidak demokratis, dan hanya melibatkan pengusaha. Substansi RUU Cilaka menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda,” kata Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan YLBHI Arip Yogiawan dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (30/1)
Serikat buruh juga menolak rencana Jokowi mengubah rumus perhitungan Upah Minimum Provinsi (UMP) dalam RUU tersebut. Karena takutnya rencana itu bakal memunculkan ketimpangan upah bekerja dan memiskinkan buruh.
Terbaru, di Denpasar, Koalisi Rakyat Bali (Kirab) menggelar aksi penolakan RUU Omnibus Law, Kamis (6/2) siang. RUU sapu jagat ini ditentang karena dinilai mengancam lingkungan dan alam Bali.
“Bali sebagai pulau agraris dan pariwisata sangat terancam dengan Omnibus Law,” ujar Humas Kirab, Ni Kadek Vany Primaliraning di tengah-tengah aksi.
Aksi ini diikuti sejumlah elemen aktivis, mahasiswa, dan pekerja. Beberapa di antaranya LBH Bali, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Bali, Front Mahasiswa Indonesia (FMN), Serikat Demokratik Mahasiswa Nasional (SDMN), Perpustakaan Jalanan, dan Sekolah Anti Korupsi (Sakti).
Aksi itu berawal dari Lapangan Puputan Renon di Denpasar, berlanjut ke Monumen Bajra Sandhi Renon, dan berakhir di Kantor Gubernur Bali.
“Proses penyusunannya [Omnibus Law] yang sangat tertutup, tidak menerapkan prinsip-prinsip demokratis serta hanya melibatkan pengusaha. Ini mencerminkan semakin acuhnya pemerintah terhadap perlindungan HAM,” kata Vany.
RUU ini dinilainya sangat berbahaya dengan sifatnya yang multisektor mengatur soal perizinan, kehutanan, lingkungan hingga perburuhan. Terlebih kentara lagi dengan jangka waktu penyusunan yang dikebut.
“Partisipasi publik ditiadakan. Padahal hal itu salah satu prosedur mutlak bagaimana melakukan penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Peraturan Perundang-Undangan,” jelasnya.
Kirab meminta gubernur meneruskan ke pusat suara penolakan dari Bali. Ia juga meminta gubernur bersikap menolak Omnibus Law.
Editor: Awang Darmawan
Cek berita dan artikel yang lain di Google News