SULSELSATU.com, MAKASSAR – Dewan Kesenian Makassar (DKM) menggelar diskusi bertajuk “Matinya Budaya Bugis Makassar”. Tema ini diangkat sebagai alarm, atau peringatan pada pergeseran budaya daerah di Sulsel yang digelar di Benteng Rotterdam, Minggu (8/3/2020).
Ketua DKM Makassar, Erwin Kallo mengatakan, indikatornya ada Tiga. pertama karena bahasa daerah, dimana anak cucu kita sudah tidak menggunakan bahasa daerahnya. Tidak mengenal lagi bahasa daerahnya.
“Kedua, artefak atau penemuan, apakah bukti history daerah kita masih dipertahankan dan dipelihara dan ketiga, adalah pola sikap, apakah masih sipakatau, masih sipakainga?. Dari tiga indikasi ini menjadi bukti bahwa budaya Bugis dan Makassar itu terancam mati,” kata Erwin.
Baca Juga : Ketua DKM Makassar Nilai Budaya Sudah Mati, Ini Indikatornya
Olehnya itu melalui diskusi ini, DKM berencana akan menggelar berbagai event dengan menonjolkan konten daerah Bugis dan Makassar. terutama kepada anak sekolah.
“Kita akan gelar berbagai event dengan konten lokal, untuk mengenal kembali jati diri daerah kita. Karena selama ini terjadi pembunuhan budaya kita berawal dari kebijakan pemimpin daerahnya sendiri. Yang kerap menggunakan kalimat asing dengan melupakan kalimat daerahnya sendiri sebagai bahasa ibu,” ujar Erwin Kallo
Budaya itu menurutnya adalah jendela, bagaimana mengenal budaya daerah sendiri kalau tidak pernah baca. Bagaimana mau baca kalau lontaraknya saja tidak tau.
“Nah, DKM akan hadir di situ mengisi kekosongan dari kebijakan pemerintah kita,” lanjutnya.
Sementara itu, budayawan Prof Qasim Mathar menilai bahwa budaya itu harus hidup dan ada nilainya.
“Apakah sipakatau masih ada, jangan sampai hanya sipakasiri. Sipakasiri lebih ditonjolkan daripada Sipakatau,” ujarnya.
Menurutnya daerah ini punya budaya Taro Ada Taro Gau (sesuaikan kata dan perbuatan) budaya ini yang harus dilihat terlebih dahulu. Jadi menurutnya jika ingin melihat budaya itu masih hidup maka lihatlah prilaku hidup orang orangnya. Jangan sampai terjadi pergeseran.
“Sebenarnya harus kembali ke mutu pendidikan, dari pendidikanlah sehingga budaya kita bergeser. Misalnya seorang siswa melanggar, ada guru yang tindaki dan mengajarkan anak tentang kedisiplinan, kesopanan dan kepatuhan, moral dan etika. Tapi mereka justru diperhadapkan oleh hukum. Salah sedikit guru dihajar, guru dicaci maki bahkan digunduli di depan umum apakah itu juga bukan melanggar HAM?” ujar guru besar yang jago baca puisi ini.
Lebih lanjut disebutkan Berbeda dengan metode pendidikan di zaman dulu, kita bahkan segan dengan guru. Sekarang guru malah teraniaya. Disinilah awal dari pergeseran budaya kita. Orangtua tidak lagi menghargai guru, murid tidak lagi menghargai gurunya, karena terpengaruh oleh aturan yang dibuat secara global. Inilah yang tidak disadari.
“Perlu diingat tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya rusak, begitu juga dengan guru tidak ingin melihat anak didiknya tidak berhasil. Mereka justru bangga ketika melihat anak didiknya sukses melebihi dirinya. Marwah inilah yang harusnya dikembalikan,” tutup Guru Besar UIN Alauddin Makassar itu
Editor: Asrul
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar