Logo Sulselsatu

Opini: Pro-Kontra Hagia Sophia, Emosi Beragama Hingga Kedaulata Negara

Asrul
Asrul

Kamis, 16 Juli 2020 17:30

Ketua Lakkang Institut dan Dai LD-Nurain, Uje Jaelani. (Foto/Ist)
Ketua Lakkang Institut dan Dai LD-Nurain, Uje Jaelani. (Foto/Ist)

Oleh Abd. Kadir Jaelani-Sekretaris Umum Korps Muballigh DMI Sulsel

“Bahwa konflik agama punya akar sejarah yang panjang dimana manusia dan kemanusiaanya selalu menjadi tumbal yang dihargai begitu murahnya” Uje Jaelani

Kontroversi akibat putusan Presiden Recep Tayyip Erdogan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid masih terus bergaung. Alih fungsi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid memantik polemik di dunia internasional. Pro-kontra terjadi terlihat dari ekpresi masyarkat dunia, ada yang suka cita menyambut, ada yang kecewa, mengujat tidak sepakat, dan ada pula yang apatis, kira begini bahasanya ‘mau jadi masjid atau jadi geraja atau jadi tempat apakah, apakah, terserah, toh iman saya tidak akan berkurang dan bertambah, toh tidak bias bikin kenyang, dan toh tidak bias usir virus corona’ hahahah..

Baca Juga : OPINI: Tantangan Nakes di Daerah Terpencil, Urgensi Pemenuhan Kebutuhan Dasar untuk Pelayanan Kesehatan Optimal

Khusus di tanah air, berbagai postingan di media social membanjiri beranda media social saya menyambut dengan suka cita Hagia Sophia beralih menjadi masjid, baik dengan cara respost tulisan yang menurutnya mewakili pikiran dan perasaanya, atau buat caption sendiri dan membuat semacam pandangan dalam merasionalisasikan putusan Presiden Recep Tayyip Erdogan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid.

Sebagian negara yang mayoritas berpenduduk muslim mendukung keputusan otoritas Turki untuk mengubah fungsi Hagia Sophia menjadi masjid. Dilansir dari lama tirto.id, Sejumlah organisasi muslim, seperti Uni Magrib Arab (The Magrib Arab Union), organisasi Ikhwanul Muslimin, juga dengan bersemangat mendukung langkah rezim Presiden Erdogan itu. Pihak-pihak itu menyebut momen tersebut sebagai “langkah sejarah” atau “peristiwa bersejarah” dalam Islam. Di sisi lain, sebagaimana dilansir dari Reuters, kritik atas keputusan itu juga tak kalah banyaknya dari petinggi negara dan pemimpin agama dunia. Bahkan, Paus Fransiskus mengaku sangat sedih atas perubahan status Hagia Sophia. Polemik tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang Hagia Sophia yang telah melewati masa lebih dari 1,5 milenium.

Dalam bahasa Turki, Hagia Sophia disebut Ayasofya, dan di bahasa Latin: Sancta Sophia. Hagia Sophia juga pernah dikenal sebagai Gereja Kebijaksanaan Suci (Church of the Holy Wisdom) dan Gereja Kebijaksanaan Ilahi (Church of the Divine Wisdom).

Baca Juga : OPINI: Meneropong Dinding Pembuluh Koroner dengan Pencitraan Intra Koroner

Menurut ensiklopedia Britannica, bangunan Hagia Sophia pertama kali didirikan di atas pondasi atau tempat kuil pagan pada 325 Masehi, atas perintah Kaisar Konstantinus I. Putranya, Konstantius II, lalu menjadikan bangunan ini sebagai gereja Ortodoks pada 360 masehi. Hagia Sophia kemudian menjadi gereja tempat para penguasa dimahkotai dan menjadi katedral paling besar yang beroperasi sepanjang periode Kekaisaran Bizantium. Hagia Sophia sekaligus menjadi saksi sekaligus korban pusaran konflik di tengah pelbagai kejadian yang menerpa Kekaisaran Bizantium. Hagia Sophia juga pernah direparasi secara besar-besaran beberapa kali pada era ini.

Asumsi bahwa kedaulatan Turki sebagai suatu negara melakukan alih fungsi Hagia Sophia dari museum menjadi masjid sah-sah saja, karena beradaan Hagia Sophia memang berada di Turki, namun, ini bukan soal kedaulatan seuatu negara saja, jika dilihat akar historis ali fungsi Hagia Sophia disetiap kekuasaan Selama 15 abad terakhir, Hagia Sophia menjadi saksi bisu sejarah berlangsungnya transisi rezim yang menguasai Konstantinopel (kini Istanbul), mulai dari pagan, Kekaisaran Byzantium penganut Katolik Ortodoks, Kesultanan Ottoman (Utsmaniyah) sampai era Turki modern.

Secara garis besar, sejarah panjang Hagia Sophia dapat dipilah menjadi empat fase. Pada empat fase itu, alih fungsi Hagia Sophia terjadi bergantung pada siapa rezim yang berkuasa di Istanbul. Transis rezim di setiap zamannya mengikut sertakan Hagia Sophia berubah ali dari gereja ke masjid dan dari masjid ke gereja lalu dijadikan museum, ini memilik sejarah konflik yang panjang dan mengerikan, dara dan air mata yang selalu menjadi saksi sejarah peralihan Hagia Sophia. Manusia dan kemanusiaan menjadi korban dari sebuh perebutan symbol dan apa yang dimaknai sebagai sakralitas.

Baca Juga : OPINI: Permenaker RI Nomor 18 Tahun 2022 Malapetaka Bagi Pengusaha

Hagia Sophia bukan sekedar bangunan bersejarah tapi merupakan symbol ‘sejarah yang hidup’ symbol memiliki nilai sakralitas dari dua keyakian, sementara itu, perkara keyakina merupakan perkara yang melapau batas kedaulatan suaru negara, maka tidak heran kebijakan Presiden Recep Tayyip Erdogan memicu pro-kontran, karena Hagia Sophia bukan sekedar banguna bersejarah, buakn juga soal kedaulatan negara tapi lebih dari itu, soal symbol dan skralitas, soal keyakian yang dimaknai dari dua pemeluk agama, yang dimana pada perkara itu melampau wilayah, batas toritorial suatu negara.

Sejarah makam Nabi Muhammad SAW yang Hendak Dibongkar

Saya teringat sejarah waktu makam Nabi Muhammad SAW hendak dibongkar dan dipindahkan oleh rezim Pada tahun 1924-1925, Arab Saudi dipimpin oleh Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi. Aliran ini sangat dominan di tanah Haram, sehingga aliran lain tidak diberi ruang dan gerak untuk mengerjakan mazhabnya.

Baca Juga : Pembangunan Gedung Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Capai 39 Persen

Pemerintah Arab Saudi berencana menghancurkan makam Nabi Muhammad. Pusara Rasulullah itu terletak di dalam masjid paling suci kedua setelah Masjid Al-Haram di Kota Makkah. Tujuannya untuk memperluas Masjid Nabawi? Tapi alasan perluasan masjid bukan hanya itu, tapi menyangkut pahaman Aliran Wahabi yang terkenal puritan, berupaya menjaga kemurnian agara dari musyrik dan bid’ah. Maka beberapa tempat bersejarah, seperti rumah Nabi Muhammad SAW dan sahabat, termasuk makam Nabi Muhammad pun hendak dibongkar.

Umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Hijaz. Dilasir dari Merdeka.com Komite Hijaz ini merupakan sebuah kepanitiaan kecil yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Setelah berdiri, Komite Hijaz menemui Raja Ibnu Suud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan, diantaranya adalah meminta Hijaz memberikan kebebasan kepada umat Islam di Arab untuk melakukan ibadah sesuai dengan madzhab yang mereka anut dan mendesak pemerintah rezim saud untuk tidak membongkar dan memindahkan makam Nabi. SAW.

Dari kisah ini, ini mendakan bahwa Ini bukan soal kedaulatan, ada hal yang mesti dijaga dari beralihnya satus suatau ritus dan simbol keyakian, karena dibalik itu semua ada ekpresi atau emosi keagaaman yang tidak lagi mengenal batas wilaya suatu negara.

Baca Juga : Opini: Inmemoriam Andi Anthon Pangerang, Budayawan Besar Sulawesi Selatan Asal Tana Luwu

agama, apa pun dan di mana pun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat dengan muatan emosi, dan subjek­ tivitas tinggi, sehingga hampir selalu melahirkan ikatan emo­ sional pada pemeluknya. Bahkan bagi pemeluk fanatiknya, agama merupakan “benda” suci yang sakral, angker, dan ke­ ramat.

Atau jangan-jangan ini merupakan upaya Presiden Recep Tayyip Erdoganuntuk memulihkan citranta, menggait simpati dari umat islam stelah kedekatannya dengan negara-negara penebar koflik. Ini patut menjadi kecurigaan dan di kaji lebih dalam.

Dalam sejarah yang cukup popular di kalangan ummat islam, diceritrakan bahwa Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk meruntuhkan masjid tersebut. Kemudian Lokasi bangunan masjid Dhirar dijadikan tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang.

Masjid ad-Dhirar adalah sebuah masjid yang dibangun oleh penduduk Madinah yang didirikan tak jauh dari Masjid Quba. Masjid tersebut pada mulanya diakui oleh baginda Nabi Muhammad SAW saat dalam perjalanan untuk Perang Tabuk tetapi selepas kepulangan beliau, baginda mengarahkan masjid tersebut untuk dihancurkan. Peristiwa ini terjadi pada Oktober 630 Masehi Dalam riwayat umum kebanyakan ulama dan para sarjana, masjid ini dibangun oleh dua belas orang munafik yang tujuannya untuk memcah persartuan ummat.

Sehingga dapat diartikan bahwa masjid pada sebuah sejarah tidak dijadikan sebagai temopat ibadah dan pembangun peradaban tapi ada masjid yang didikan untuk memecah persatuan.

Bagi saya, biarkan Hagia Sophia tetap menadi museum yang bias dikunjungi oleh siapapun dan dari manpun, supaya para generasi kita bisa mengambil pelajaran bahwa konflik agama punya akar sejarah yang panjang dimana manusia dan kemanusiaanya selalu menjadi tumbal symbol-simbol.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News

Yuk berbagi informasi tentang Sulawesi Selatan dengan join di group whatsapp : Citizen Journalism Sulsel

 Youtube Sulselsatu

 Komentar

 Terbaru

Video26 November 2024 15:53
VIDEO: Tiga Pendaki Hilang di Gunung Balease Ditemukan Selamat, Satu Alami Luka
SULSELSATU.com – Tiga pendaki asal Tasikmalaya yang hilang kontak di Gunung Balease, Luwu Utara, ditemukan dalam kondisi selamat. Ketiganya dite...
Politik26 November 2024 15:49
Seto Mencoblos di TPS 4, Rezki di TPS 11 Rappocini
SULSELSATU.com, MAKASSAR – Pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar, Andi Seto Gadhista Asapa dan Rezki Mulfiati Lutfi siap menggunakan...
Bisnis26 November 2024 15:31
Khusus Rute Pinrang dan Sengkang, Cahaya Bone Beri Potongan Harga Rp50 Ribu
Salah satunya dengan kolaborasi bersama Kallafriends menghadirkan program #ditraktirkallafriends dengan promo potongan harga hingga 50 ribu ripuah yan...
Politik26 November 2024 14:51
Tidak Dapat Undangan Mencoblos, Apakah Bisa Pakai KTP? Ini Kata KPU Makassar
SULSELSATU.com, MAKASSAR – Pemungutan suara pada Pilkada Serentak 2024 digelar besok, Rabu 27 November 2024. Pemilih yang namanya tercatat di da...