Buku Bilang Taung Beberkan Sistem Penanggalan Berdasarkan Naskah Lontara
SULSELSATU.com, MAKASSAR – Pemerhati budaya Sulsel, Nor Sidin yang akrab disapa Ambo Uphe menerbitkan buku Bilang Taung. Buku ini berisikan tulisan tentang sistem penanggalan masyarakat Sulawesi Selatan berdasarkan naskah lontara.
Buku yang dirampungkan bersama Kepala Jurusan Sastra Unhas, Dr. Muhlis Hadrawi serta pemerhati sejarah dan budaya Sulsel, Sapri Pamulu P.hD ini dibuat selama setahun. Enam bulan untuk buku pertama di 2019 dan kemudian dibuat buku kedua selama enam bulan dengan menggunakan rujukan naskah-naskah lontara.
Nor Sidin menyebutkan buku ini sebagai upaya untuk menjaga kelestarian budaya lokal Sulsel agar tidak punah ditelan masa. Buku Bilang Taung berisi sistem penanggalan Masyarakat Bugis Makassar sebagai suatu kearifan lokal masyarakat Sulsel.
“Sangat banyak yang membantu dan mendukung saya sehingga buku ini bisa terbit. Buku ini juga mendapat apresiasi dari Gubernur Sulsel yang tetap konsen memperhatikan budaya kearifan lokal. Buku ini menjadi kado hari jadi Provinsi Sulsel Oktober mendatang,” kata Ambo Uphe.
Pemerhati budaya asal Maros, Boby Boyo menuturkan, para leluhur tanah Bugis-Makassar telah mewariskan sesuatu yang besar. Namun pergeseran zaman dengan berbagai dinamikanya telah membuat sebagian masyarakatnya nyaris melupakan warisan tersebut.
Bahkan, kata Boby, untuk menemukan orang Bugis-Makassar yang mampu membaca tulisan-tulisan berhuruf lontara terkhusus generasi muda kian sulit.
Olehnya itu, Boby bersyukur dengan adanya Nor Sidin. Seorang lelaki berdarah bugis yang besar dan tumbuh di tanah rantau, tetapi tidak membuatnya lupa akan budaya kerarifan lokal kita meski dirantau tidak kemudian mampu menggerus jati diri dan sukmanya sebagai laki-laki bugis. “Tanah rantau justru membuatnya mampu melakukan sesuatu yang bernilai bagi pengembangan kebudayaan bugis dan makassar,” ungkap Boby.
Melalui aku Facebook-nya, Boby mengungkapkan, ada beberapa kelompok masyarakat yang juga memiliki penanggalan sendiri. Salah satunya masyarakat Bugis-Makassar.
Menurut dia, sejak ratusan atau bahkan mungkin ribuan tahun lalu, leluhur masyarakat Bugis-Makassar telah memiliki acuan sendiri untuk dijadikan dasar dalam menjalani hidup. “Kita memiliki lontara Pananrang juga Kutika yang berisi catatan tentang hari-hari baik untuk memulai sesuatu. Perkawinan, memulai turun ke sawah, mendirikan rumah, memulai membuat senjata dan lain-lain,” ujarnya.
Boby melanjutkan, leluhur kita adalah manusia-manusia bijak yang paham jika alam adalah bentangan ilmu. Mereka tidak sekadar paham jika langit mendung adalah pertanda hujan akan segera turun. “Lebih dari itu, mereka paham bahwa hujan hari ini akan membawa berkah atau bencana,” tambahnya.
Buku Bilang Taung karya Ambo Uphe pun disebut bukan sebuah upaya yang sederhana. “Penerbitan naskah masa lalu ke dalam sebuah buku membutuhkan keseriusan yang luar biasa,” ungkap Boby Boyo (*)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News