SULSELSATU.com, NASIONAL – Belasan ribu kelompok transpuan terancam kehilangan hak pilih pada pemilu 2024 nanti. Sebab, mereka kesulitan mendapatkan dokumen kependudukan karena label LGBTQ+ .
Dalam pemilihan umum, kelompok transpuan harus gigit jari lantaran kehilangan hak politiknya. Mereka menemui berbagai hambatan untuk menyampaikan hak pilihnya.
Seperti hambatan mendapatkan dokumen kependudukan. Mereka kesulitan mendapatkan itu, karena dalam dokumen kependudukan hanya ada dua gender, yang diakui yaitu laki-laki dan perempuan.
Baca Juga : VIDEO: Transgender yang Bercadar Hadiri Kajian Ustaz Hanan Attaki Nangis Minta Maaf
Namun, pernyataan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Betty Epsilon Idroos mengatakan, bahwa dalam menyampaikan hak pilih tidak membeda-bedakan gender pemilih, selama semua berjalan sesuai dengan ketentuan.
“Kami tidak bisa keluar dari koridor yang tertuang dalam aturan,” kata Betty dikutip dari Jaringid, Minggu, (18/9/2022).
Dia juga menganggap, bahwa transpuan atau transgender bagian dari warga negara Indonesia. Selama mereka berusia 17 tahun, dan sudah menikah, maka akan dikategorikan sebagai pemilih. Dibuktikan dengan KTP elektronik.
Baca Juga : Kemenkes Catat 27 Kasus Kematian Petugas KPPS
Namun, karena kesulitan mendapatkan dokumen kependudukan, kelompok transpuan merasa tidak dikategorikan sebagai pemilih.
Seperti, yang terjadi di Desa Jopu, Nusa Tenggara Timur. Kelompok transpuan masih sulit mendapatkan pelayanan pembuatan dokumen kependudukan.
“Ketika kami datangi pemerintah desa. Kami sampaikan hak kami, seperti kebutuhan mengurus KTP dan mengurus KK. Minta bantuan itu. Kami disuruh urus sendiri (tidak dibantu pemerintah),” kata Inces, salah satu transpuan di Desa Jopu, Nusa Tenggara Timur.
Baca Juga : Dapatkan Diskon Belanja Berbagai Tenant Mal dalam Program Kingking Fun Pesta Demokrasi
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Hurriyah menilai masalah transpuan tak dapat memilih merupakan dampak dari cara pandang pemerintah yang melihat identitas gender dalam administrasi hanya laki-laki dan perempuan. Alih-alih diberi kondisi agar mampu (enabling condition), kelompok ini malah dianggap tidak perlu.
“Ini persoalan struktural terkait dengan cara pandang dan kebijakan negara yg tidak ramah kepada mereka: soal pendataan penduduk yang utamanya berkaitan dengan identitas kelamin,” pungkasnya.
Oleh sebab itu, transpuan dalam pemilu menjadi kelompok termarjinalkan. Identifikasi gender, kata dia, telah memperburuk atau memicu perlakukan aparatur maupun masyarakat ketika hendak menggunakan hak pilih.
Baca Juga : Prabowo-Gibran Unggul di TPS Wali Kota Makassar Danny Pomanto Memilih
“Transpuan termasuk kelompok paling termarjinalkan dalam pemilu karena ada persoalan struktural, kultural, hingga persoalan teknis,” jelas Hurriyah.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar