Penulis: Triasmi Mayairani Nurdiana
(Penyuluh Pajak Ahli Muda Direktorat Jenderal Pajak)
SULSELSATU.com – Cerita tentang pajak tidak akan pernah selesai. Tidak bisa dipungkiri, sampai hari ini masih ada tanggapan negatif di tengah masyarakat Indonesia ketika membahas perpajakan. Apalagi jika sudah menyinggung tentang apa, bagaimana dan kenapa kita harus menjalankan kewajiban perpajakan.
1001 pertanyaan dapat muncul secara berkelanjutan dan bahkan mengalahkan jumlah episode sinetron di televisi. Kali ini penulis hanya membahas aspek perpajakan terkait Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM, mengingat tujuan penulisan artikel ini adalah memberikan informasi yang ringan dan mudah diserap oleh pembaca.
Baca Juga : Keripik Kentang Albaeta, UMKM Yang Berkembang Pesat Karena Pemberdayaan BRI
Hal pertama yang seringkali muncul di benak masyarakat adalah pajak merupakan pungutan yang dipaksakan dan ditetapkan oleh negara kepada warganya. Pada dasarnya pajak memang sifatnya wajib dan memaksa tetapi tentu saja penggunaannya untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam UU KUP Nomor 28 Tahun 2007, pasal 1 ayat (1), pengertian pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sejak Bulan Juli Tahun 2018, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, wajib pajak yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp. 4.8 miliar tiap tahunnya menggunakan tarif sebesar 0,5% dari omzet tiap bulannya. Orang pribadi yang melakukan usaha perdagangan atau jasa yang menggunakan sarana sewa tempat atau alat dalam usahanya. Misalnya: pedagang keliling, warung, otomotif, toko kelontong, penjual baju, salon dan usaha lainnya yang sesuai ketentuan undang-undang.
Baca Juga : Rp98,65 Miliar Transaksi Ekspor UMKM Disepakati Selama AMBF x SSIF 2024
Lantas mengapa pembayaran pajak wajib? Pembayaran pajak menjadi bukti bakti serta kontribusi nyata kepada negara. Sebagai sumber utama pendapatan negara, pajak berfungsi membiayai pengeluaran-pengeluaran negara diberbagai aspek baik Pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, dan lain-lain. Karena pentingnya, negara tentu saja tidak asal menetapkan ketentuan perpajakan, ada beberapa aspek yang menjadi pertimbangan, antara lain : aspek keadilan, yuridis, ekonomis, finansial, dan kesederhanaan.
Kabar baiknya, mulai 1 Januari 2022, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM dengan batasan omzet sampai dengan Rp500 juta per tahun, tidak lagi dikenakan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Termasuk kategori ini adalah orang pribadi yang melakukan usaha perdagangan/ jasa yang menggunakan sarana sewa tempat atau alat dalam usahanya. Misalnya: pedagang keliling, warung/toko kelontong, penjual baju, salon dan usaha lainnya sesuai ketentuan Undang-Undang.
Aturan ini dimuat dalam Pasal 7 ayat (2a) bahwa “Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 tahun pajak”. Jadi Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM dapat mengalihkan anggaran pajak penghasilannya untuk pengembangan usahanya.
Baca Juga : Terus Dorong Pelaku UMKM Naik Kelas, BRI Telah Salurkan KUR Rp158,6 Triliun
Apakah menghitung pajaknya sulit? Caranya sangat sederhana, sebagai gambaran perhitungannya, misalnya omzet setiap bulan nominalnya sama sebesar Rp 50 juta maka dibulan ke-1 hingga ke-10 (mencapai total Rp 500 juta) wajib pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan. Pada bulan ke-11 dan ke-12, karena akumulasi omzet telah melebihi batasan Rp 500 juta maka telah dikenai Pajak Penghasilan. Pajak yang harus dibayar dihitung dari omzet sebesar Rp 50 juta dikalikan tarif 0,5%, sehingga wajib pajak harus membayar sebesar Rp 250 ribu pada bulan ke-11 dan ke-12.
Kebijakan ini adalah bentuk keberpihakan negara terhadap pengembangan UMKM. Kedepannya jika UMKM telah berkembang menjadi usaha skala besar maka diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih pada penerimaan pajak.
Bagaimana kewajiban pelaporannya? Berdasarkan PP 23/2018 Wajib Pajak yang telah menyetorkan PPh Final 0,5% dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa. Tetapi mekanisme terbaru, bagi wajib pajak Orang Pribadi UMKM yang omzet belum melebihi Rp 500 juta dalam setahun dan tidak perlu membayar pajak, sebagai arsip administrasi diminta untuk tetap membuat rekapitulasi penghasilan bruto perbulan yang akan dilaporkan dalam SPT Tahunan.
Baca Juga : Berkat Program Pemberdayaan BRI Klasterku Hidupku, Petani Ini Berhasil Kembangkan Budidaya Alpukat
Jika dicermati kembali, pajak tidaklah serumit yang dibayangkan. Dengan adanya kemudahan akses informasi dan banyaknya saluran layanan konsultasi perpajakan yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sangat mudah bagi wajib pajak untuk mencari tahu dan mengenal lebih dalam kewajiban perpajakannya.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar