Penulis : Andi Ashim Amir (Pegiat Wacana Filsafat dan Politik)
“Demokrasi adalah proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan.” Ungkapan Bertrand Russell, Filsuf Besar abad ke-20, tersebut, mungkin dapat mewakili kondisi domokrasi kita saat ini.
Pemilu yang diselenggarakan lima tahun sekali sebagai salah satu instrument demokrasi, sejatinya menjadi momentum kebahagiaan bagi setiap warga negara. Tentu bukan sebaliknya, menjadi gerbang kesengsaraan bagi warganya. Hal ini menuntut moralitas publik para pemimpin agar kelak dapat mewujudkan sila kelima Pancasila keadilan sosial bagi seluruh rakyat di negeri ini. Tanpa itu, demokrasi akan seperti yang disebut Russell di atas.
Bagi sebagian orang, politik dan moralitas seringkali dilihat sebagai dua entitas yang kontradiktif, saling menegasi. Politik pada satu pihak dipandang sebagai suatu yang rendah, kotor, penuh intrik dan menghalalkan segala macam cara. Sebaliknya, moralitas pada sisi lain dipandang sebagai sesuatu yang agung dan adiluhung. Politik mewakili dunia yang kelam di dasar bumi sedangkan moral mewakili dunia langit yang selalu bersinar terang namun tidak pernah menyentuh bumi.
Padahal, politik dan moral bukanlah dua entitas yang terpisah. Keduanya seperti dua mata uang yang saling melengkapi. Tentu saja dualitas tersebut dipengaruhi oleh cara pandangan dunia aktor politik. Politik tidak lain merupakan usaha untuk mengaktualkan moralitas. Seperti ditegaskan oleh Arsitoteles, politik adalah sarana mewujudkan keadilan.
Upaya mewujudkan moralitas dalam kehidupan demokrasi tentu perlu keterlibatan semua pihak, khususnya warga negara itu sendiri. Bahkan sudah menjadi kewajiban bagi setiap warga untuk secara aktif dan partisipatif menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsanya. Sebab, politik adalah ruang bersama antarwarga. Ini merupakan asas dalam politik sejak zaman Yunani purba.
Berangkat daripada itu, maka aktifitas politik sejatinya bertujuan menjamin kehidupan yang baik dan berkeadilan. Adapun demokrasi adalah instrumen untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Pada konteks inilah, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan: para aktor politik pada satu pihak dan sistem politik pada pihak lain. Aktor politik diharapkan dapat menghasilkan kebijakan dalam rangka mendistribusikan keadilan, sedangkan sistem adalah keseluruhan instrumen untuk mewujudkan tujuan politik.
Proses demokrasi elektoral seyogianya menjadi wahana bagi rakyat dalam memilih wakil terbaiknya, baik untuk lembaga legislatif maupun eksekutif. Oleh sebab itu, proses elektoralnya harus berlangsung sehat. Adapun proses yang sehat hanya mungkin terjadi apabila aktor dan lembaga penyelenggaranya sedari awal bersih dan sehat.
Lantas seperti apakah penyelenggaraan yang sehat? Syarat bagi penyelenggaraan yang sehat adalah apabila keseluruhan prosesnya didasarkan pada prinsip penyelenggaraan itu sendiri. Di antara prinsip tersebut adalah langsung, umum rahasia, jujur dan adil. Jika dalam prosesnya tersebut terdapat cacat, tidak memenuhi salah satu prinsip, maka cacatlah seluruh rangkaian pemilu tersebut, termasuk hasilnya.
Syarat lain bagi penyelenggaraan pemilu yang sehat adalah para subjek penyelenggara itu sendiri. Subjek penyelenggara harus mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan prinsip-prinsip penyelenggaraan. Jika ihwal subjek penyelenggara tidak bekerja berdasarkan prinsip tersebut, maka ini seperti halnya mencuci dengan air comberan.
Untuk menghasilkan pemimpin yang baik dalam proses demokrasi, tentu tidak lepas dari proses seleksi yang ketat yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara. Mekanisme dalam proses tersebut menentukan pemimpin yang baik dan visioner. Adapun peran serta aktor-aktor sosial lainnya, pendidik, tokoh agama, dan lain-lain, memberikan pencerahan dan kesadaran kepada masyarakat sehingga tercipta kohesi dalam ruang publik.
Upaya mewujudkan kedua hal tersebut tentu bukan sesuatu yang mustahil. Justru, di tengah carut marut sistem perpolitikan saat ini penting kiranya untuk menumbuhkan optimisme dalam masyarakat tentang tatanan kehidupan yang baik. Tidakkah sedari awal Indonesia lahir dari optimisme para founding father? Niccolo Machiavelli, filsuf kenamaan Florence, Italia, menasihatkan bahwa “beruntuntuh mereka yang hidup di zaman yang penuh tipu muslihat (korup), sebab dengan begitu ia dapat menunjukkan dirinya sebagai warga negara yang baik.”
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar