SULSELSATU.com, MAKASSAR – Indonesia merupakan negara urutan kedua di dunia dengan kasus Tuberkulosis (TBC) terbanyak. Hal ini dikarenakan sulitnya penurunan jumlah kasus TBC yang disebabkan lamanya proses diagnosa.
Jika proses diagnosa lebih cepat, maka orang akan lebih cepat mendapatkan terapi, angka kesembuhan meningkat dan penyebarannya bisa menurun.
Seorang peneliti yang berasal dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Antonia Morita Iswari Saktiawati menciptakan sebuah alat untuk mendeteksi penyakit TBC lewat aroma tubuh atau napas.
Baca Juga : Dinkes Sulsel Temukan 12.280 Kasus TBC Hingga Mei 2024
Aroma dan napas akan dideteksi melalui kantong udara yang terkoneksi dengan alat Elektronik Nose (E-Nose). Penelitian e-nose ini dianggap memiliki hal baru dalam menciptakan alat yang murah dan pertable.
Data yang dihasilkan dari e-nose ini disambungkan ke laptop yang akan menganalisis data serta memberitahukan apakah seseorang sakit atau tidak.
E-nose sendiri memiliki beberapa keunggulan dilansir dari Molanews, Selasa (25/7/2023).
Baca Juga : 5400 Warga Makassar Terkena Penyakit Tuberkulosis, FMSE-TB: Segera Melapor dan Berobat Gratis
1. Mempermudah proses diagnosa penyakit khususnya yang sulit dijangkau fasilitas kesehatan.
2. Alat diangnosa TBC harganya sangat mahal.
3. Efek samping diagnosa TBC dengan Rontgen dinilai kurang aman karena paparan radiasinya.
Baca Juga : Hari Tuberkulosis Sedunia, Ketua TP PKK Makassar Ajak Seluruh Masyarakat Periksa TB Lebih Dini
4. Alatnya murah murah dan bisa digunakan secara mandiri. Diharapkan semudah menggunakan alat tes kehamilan.
Saat ini E-nose masih dalam tahap awal pengembangan, yaitu melatih alat agar bisa mendiagnosa secara sensitif dan spesifik.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar