SULSELSATU.com – Suhu panas ekstrem mengakibatkan lebih dari seratus lumba-lumba mati di sungai Amazon.
Bangkai lumba-lumba itu ditemukan mengapung bersama dengan ribuan ikan mati di Danau Tefé, Amazonas, Brasil. Peningkatan suhu terjadi setelah kekeringan berkepanjangan mengeringkan sebagian besar air.
Kejadian tersebut digambarkan penduduk komunitas kecil di negara bagian Amazonas sebagai apokaliptik alias kiamat.
Baca Juga : Polri Bangun Sumur Bor Untuk Masyarakat Pattalassang, Bupati Gowa: Terima Kasih
“Sebulan terakhir di Tefé tampak seperti skenario perubahan iklim di film-film fiksi ilmiah,” kata Daniel Tregidgo, peneliti Inggris yang tinggal di daerah tersebut, dikutip detikcom.
“Penampakan rutin lumba-lumba sungai merah muda adalah salah satu keistimewaan hidup di jantung Amazon. Hampir setiap kali saya jalan-jalan pagi untuk sarapan, saya melihat mereka muncul ke permukaan dan itu mengingatkan saya mengapa saya tinggal di sini,” ujarnya.
“Mengetahui bahwa mereka mati memang menyedihkan. Tetapi melihat tumpukan bangkai, mengetahui bahwa kekeringan ini telah menewaskan lebih dari 100 orang, adalah sebuah tragedi,” tuturnya.
Baca Juga : 1.091 Petani Terima Bantuan Pompa Air Konversi BBM ke BBG
Dilansir dari detikcom, Ayan Fleischmann, peneliti geosains di Mamirauá Institute mengatakan, beberapa kemungkinan penyebabnya sedang diselidiki, termasuk penyakit dan kontaminasi limbah.
Namun dia mengatakan kedalaman air dan suhu tentu saja merupakan komponen utama dari kematian massal tersebut.
“Pada jam 6 sore kemarin, di Danau Tefé kami mengukur suhu lebih dari 39 derjat Celcius. Ini sangat panas, mengerikan. Suhu 37 derajat Celcius saja akan dianggap sebagai pemandian air panas bagi manusia,” ujarnya.
Baca Juga : El Nino Tingkatkan Risiko Kebakaran, Pj Gubernur Bahtiar Pimpin Rakor Penanganan Karhutla
Hewan mamalia itu dianggap sebagai indikator kesehatan sungai. Keberadaan lumba-lumba sangat penting bagi mereka yang tinggal di sepanjang tepi sungai. Mereka dikenal sebagai boto di Amazon, memakan piranha, dan berwarna merah muda atau abu-abu.
Daphne Willems, dari kelompok konservasi WWF, menggambarkan berita tersebut sebagai sebuah hal yang sangat menyedihkan. “Spesies luar biasa ini sudah terancam punah. Jadi, kehilangan begitu banyak individu lumba-lumba dalam waktu singkat adalah sebuah bencana,” ujarnya.
Brasil mengalami cuaca ekstrem yang luar biasa dalam beberapa bulan terakhir sebagai akibat dari gangguan iklim yang disebabkan oleh manusia dan El Niño.
Baca Juga : Tujuh Wilayah di Indonesia Bakal Alami Suhu Panas Ekstrem, Sulsel Termasuk?
Sebagian wilayah di bagian selatan negara ini terendam banjir akibat hujan badai yang deras, sementara wilayah utara mengalami kekeringan akibat musim kemarau yang luar biasa dahsyatnya.
Ketinggian air di Amazon, sungai terbesar di dunia, telah turun 30 cm setiap hari selama dua minggu terakhir. Saat ini, kedalaman rata-rata di Manaus lebih rendah 4,4 meter dari puncak musim hujannya. Tahun ini, kekeringan sudah mencapai 7,4 meter, yang oleh para ahli biologi setempat digambarkan sebagai hal yang tidak masuk akal.
Tregidgo memperingatkan dampak sosial karena hampir semua pasokan makanan dan bahan bakar diangkut dengan perahu di sepanjang Sungai Solimões dari Manaus, yang berjarak 550 km. Jalur air tersebut sekarang tidak bisa dilewati, sehingga akan menaikkan harga dan menyebabkan kerawanan pangan.
Baca Juga : Harga Beras Terus Naik, Pemerintah Bersama KPPU Optimalkan Pengawasan
Tefé adalah salah satu daerah yang paling parah terkena dampak kekeringan. Badan meteorologi nasional setempat mengatakan, curah hujan di sana pada bulan September hanya sepertiga dari rata-rata historis.
Banyak saluran yang mengering. Perjalanan perahu sungai yang biasanya memakan waktu tiga jam kini memakan waktu satu hari penuh karena kano harus melewati lumpur dan air.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar