Penulis: Ambo Aman (Penyuluh Pajak Ahli Muda Direktorat Jenderal Pajak)
UMKM merupakan singkatan dari Usaha Mikro Kecil dan Menengah yaitu usaha yang dimiliki dan dijalankan oleh perorangan atau badan usaha yang masih berskala kecil.
UMKM memiliki peran dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia diantaranya menyerap tenaga kerja, mengurangi pengangguran hingga berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Baca Juga : Menginjak Usia ke-129 Tahun, BRI Semakin Brilian dan Cemerlang Memajukan Perekonomian Negeri
Oleh karena itu, pemerintah selalu memberikan perhatian dan kemudahan bagi UMKM, salah satunya adalah kemudahan dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Melihat betapa besarnya peran UMKM dalam perekonomian, apakah UMKM masih harus bayar pajak? berapa persenkah pajak yang harus dibayar?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018), Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen.
Baca Juga : Lewat Pembiayaan dan Pemberdayaan, BRI Sukseskan Program Makan Bergizi Gratis
Wajib pajak yang dimaksud adalah wajib pajak orang pribadi dan badan yang berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), firma atau perseroan terbatas (PT) yang peredaran brutonya tidak melebihi 4,8 miliar rupiah dalam setahun.
Selanjutnya, untuk wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto (omzet) tidak lebih dari Rp500 juta dalam satu tahun, tidak dikenai PPh sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan Di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022).
Artinya jika wajib pajak orang pribadi UMKM yang memiliki omzet dibawah Rp500 juta dalam satu tahun, tidak perlu membayar pajak. Namun untuk UMKM badan yang berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), firma atau perseroan terbatas (PT) tidak memiliki batasan omzet yang tidak dikenai PPh, berapa pun omzetnya tetap dikenai PPh final 0.5 persen.
Baca Juga : BRI Bersama Holding Ultra Mikro Berperan Aktif Tingkatkan Daya Saing UMKM Melalui Sertifikasi BPOM
Terdapat beberapa jenis penghasilan yang tidak termasuk penghasilan dikenakan PPh UMKM. Seperti penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri.
Kemudian, penghasilan yang dikenai pajak penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri dan penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
Pengenaan PPh final ini tentunya tidak berlaku selamanya, jangka waktu untuk wajib pajak orang pribadi paling lama 7 (tujuh) tahun, wajib pajak Badan yang berbentuk koperasi, CV atau firma paling lama 4 (empat) tahun dan 3 (tiga) tahun wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT) terhitung sejak wajib pajak terdaftar atau sejak tahun 2018 bagi wajib pajak yang terdaftar sebelum tahun 2018.
Baca Juga : BRI Salurkan KUR Rp175,66 Triliun untuk Perkuat Ekonomi Rakyat
Sebagai contoh, untuk wajib pajak Badan yang berbentuk PT yang terdaftar tahun 2017, hanya bisa menggunakan tarif 0,5 persen ini sampai dengan tahun pajak 2020, untuk wajib pajak badan berbentuk CV yang baru terdaftar tahun 2023, bisa menggunakan tarif PPh UMKM ini sampai dengan tahun 2026.
Jika jangka waktu menggunakan tarif PP 55 ini telah berakhir, maka wajib pajak kembali menggunakan tarif PPh sesuai pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Bagi wajib pajak UMKM yang melakukan transaksi dengan pemotong atau pemungut pajak misalnya Bendahara Pemerintah, dilakukan pemotongan/pemungutan PPh final sebesar 0,5 persen dengan syarat wajib pajak sudah memiliki Surat Keterangan (PP 55).
Baca Juga : Melalui Pendampingan BRI, Sosok Ini Berhasil Memberdayakan Komunitas Perempuan di Lamongan
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan Surat Keterangan (PP 55) secara online di laman DJP online. Jika syaratnya terpenuhi, Surat Keterangan (PP 55) tersebut bisa langsung diunduh dari laman DJP online.
Untuk mekanisme pembayaran, PPh UMKM ini dibayar setiap bulan yaitu paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya serta dilaporkan dalam Surat Pemberitahunan (SPT) Tahunan wajib pajak. Jika didalam 1 bulan tidak ada penjualan/omzet, maka tentu saja tidak ada pembayaran PPh.
Untuk wajib pajak orang pribadi yang omzetnya dalam setahun tidak lebih dari Rp500 juta, tidak dikenai PPh namun tetap dilaporkan rincian omzet selama setahun di SPT Tahunan yang menjelaskan bahwa omzet wajib pajak dalam setahun memang tidak lebih dari Rp500 juta.
Namun, ketika omzet wajib pajak orang pribadi dalam satu tahun telah lebih dari Rp500 juta, maka selisihnya terutang PPh 0,5 persen.
Tak hanya menagih pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) turut mendukung pengembangan UMKM lewat program Business Development Service (BDS).
BDS adalah salah satu kegiatan pembinaan dan pengawasan serta mendorong pengembangan usaha wajib pajak UMKM secara berkesinambungan.
UMKM dapat mempelajari materi perpajakan, pembukuan, pencatatan, financial planning, marketing atau materi lainnya sesuai dengan kebutuhan peserta pembinaan UMKM. Kegiatan BDS ini diselenggarakan setiap tahun di unit-unit kerja DJP mulai tahun 2018.
Jika dilihat dari sisi penerimaan pajak dalam jangka pendek, kebijakan pemerintah ini justru mengurangi potensi penerimaan pajak sejak berlakunya PP ini.
Namun, disisi lain diharapkan dengan penyederhanaan kewajiban perpajakan UMKM ini dapat membantu dan mendorong UMKM untuk tumbuh, maju dan sukses sehingga nantinya dalam jangka panjang bisa turut berkontribusi dalam meningkatkan penerimaan pajak untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar