Logo Sulselsatu

Demokrasi Mayoritarian vs Konsensus: Mana yang Tepat untuk Indonesia?

Muh Jahir Majid
Muh Jahir Majid

Senin, 14 Oktober 2024 21:25

istimewa
istimewa

Oleh: Mustajib S.Sos M.IP, dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar

Demokrasi telah menjadi sistem politik pilihan bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Arend Lijphart dalam kajiannya tentang model demokrasi, tidak ada satu formula yang bisa diterapkan secara universal. Lijphart memperkenalkan dua model utama, yaitu Demokrasi Westminster (Mayoritarian) dan Demokrasi Konsensus (Proporsional).

Kedua model ini menawarkan pendekatan berbeda dalam pengelolaan kekuasaan dan hubungan mayoritas-minoritas. Pertanyaannya adalah, mana yang paling cocok bagi Indonesia, negara dengan beragam etnis, agama, dan budaya?

Demokrasi Westminster: Efisiensi untuk Homogenitas

Demokrasi Westminster, yang juga dikenal sebagai sistem mayoritarian, menekankan kekuasaan mayoritas. Model ini memberikan hak kepada partai atau kelompok yang memenangkan pemilu untuk memerintah tanpa harus berkoalisi, sehingga memungkinkan efisiensi dalam pengambilan keputusan.

Pemerintahan dalam sistem ini seringkali dipegang oleh satu partai dengan mayoritas kursi di parlemen, dan sistem dua partai dominan memudahkan pemilih dengan pilihan sederhana. Efisiensi ini sangat menguntungkan, terutama dalam situasi krisis di mana keputusan cepat diperlukan.

Namun, kelemahan utama dari model ini adalah kecenderungannya untuk mengabaikan hak-hak kelompok minoritas. Karena kekuasaan terkonsentrasi pada mayoritas, suara kelompok yang lebih kecil sering kali tidak terdengar.

Dalam konteks negara dengan homogenitas sosial tinggi seperti Inggris, model ini bisa berjalan baik. Namun, bagaimana jika diterapkan di negara dengan masyarakat yang sangat beragam?

Demokrasi Konsensus: Inklusivitas untuk Pluralitas

Sebaliknya, Demokrasi Konsensus lebih mengutamakan partisipasi semua pihak, termasuk kelompok minoritas. Sistem ini memungkinkan terbentuknya koalisi yang melibatkan banyak partai politik, sehingga keputusan politik tidak hanya didasarkan pada kehendak mayoritas tetapi juga memperhitungkan kepentingan minoritas. Dalam model ini, distribusi kekuasaan lebih merata antara eksekutif dan legislatif, dan sistem multipartai memberikan ruang bagi beragam pandangan politik untuk terwakili di parlemen.

Keunggulan utama Demokrasi Konsensus adalah kemampuannya untuk mencegah dominasi mayoritas yang dapat mengakibatkan tirani. Namun, proses pengambilan keputusan dalam sistem ini bisa berjalan lambat dan rumit, mengingat perlunya mencapai konsensus di antara banyak pihak. Bagi negara yang beragam seperti Indonesia, proses yang lebih lambat ini mungkin menjadi harga yang harus dibayar demi menjaga stabilitas sosial dan politik.

Mana yang Tepat untuk Indonesia?

Indonesia, dengan keragaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa, tampaknya lebih cocok dengan model Demokrasi Konsensus. Sistem multipartai yang diterapkan saat ini mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia, di mana berbagai kelompok merasa terwakili dalam proses politik. Dalam Demokrasi Konsensus, kelompok minoritas dapat memainkan peran penting dalam pemerintahan, sehingga tercipta stabilitas politik yang lebih panjang.

Namun, tantangan besar bagi Indonesia adalah bagaimana memastikan bahwa proses pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pihak tetap efisien dan tidak berujung pada kebuntuan politik. Pembentukan koalisi yang kompleks sering kali mengakibatkan kompromi yang tidak memuaskan semua pihak dan memperlambat pelaksanaan kebijakan.

Refleksi dan Pelajaran untuk Demokrasi Indonesia

Kedua model demokrasi yang dikemukakan oleh Lijphart memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Demokrasi Mayoritarian mungkin terlihat menggoda karena menawarkan efisiensi dan kekuatan yang terpusat. Namun, bagi negara dengan tingkat keberagaman seperti Indonesia, risiko mengabaikan kelompok minoritas terlalu besar. Di sisi lain, Demokrasi Konsensus memberikan ruang lebih bagi partisipasi minoritas, tetapi menghadapi tantangan berupa kelambatan dalam pengambilan keputusan.

Pada akhirnya, Indonesia perlu terus memperkuat model demokrasi yang inklusif namun efisien, belajar dari kekuatan dan kelemahan kedua model ini. Dalam upaya membangun demokrasi yang lebih matang, menjaga keseimbangan antara representasi dan efisiensi adalah kunci bagi masa depan demokrasi Indonesia.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News

Yuk berbagi informasi tentang Sulawesi Selatan dengan join di group whatsapp : Citizen Journalism Sulsel

 Youtube Sulselsatu

 Komentar

 Terbaru

Hukum01 April 2025 21:32
Kakanwil Kemenkum Sulsel Instruksikan Pemenuhan Data Dukung dan Inovasi dalam Pembangunan ZI Menuju WBBM
SULSELSATU.com, MAKASSAR – Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Sulawesi Selatan (Kakanwil Kemenkum Sulsel), Andi Basmal, menegaskan pent...
News01 April 2025 21:23
Gubernur Andi Sudirman Dorong Pembangunan Infrastruktur dalam “Tudang Sipatangngareng” di Bone
SULSELSATU.com, BONE – Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, menegaskan pentingnya infrastruktur sebagai kunci utama dalam mendorong in...
Sulsel01 April 2025 17:26
TSM Tetap Hadir untuk Warga, Melayat ke Rumah Duka di Hari Kedua Usai Lebaran
SULSELSATU.com, PAREPARE – Sehari setelah Idul Fitri, Wali Kota Parepare, Tasming Hamid (TSM), melayat ke rumah duka salah seorang warga di Kelu...
Ekonomi01 April 2025 13:14
BRI Menanam “Grow & Green” Transplantasi Terumbu Karang, Jadi Ujung Tombak Pelestarian Ekosistem Laut di NTB
SULSELSATU.com, LOMBOK – Keseimbangan ekosistem laut menjadi faktor penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan sektor wisata bahari di I...