Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Legislator Sulsel: Hemat Cost Politik & Menjaga Kedamaian
SULSELSATU.com, MAKASSAR – Wacana soal kepala daerah dipilih oleh DPRD menuai pro dan kontra. Sejumlah pihak pun angkat suara.
Wacana ini mulanya dilempar oleh Presiden Prabowo Subianto. Dia berbicara mengenai perbaikan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada). Ia mencontohkan negara Malaysia hingga India yang memilih gubernur lewat DPRD.
Efisiensi anggaran menjadi fokus kepala negara dalam wacananya tersebut. Seperti kita tahu, Pilkada langsung memang membutuhkan biaya yang sangat besar, mulai pengadaan logistik, pengamanan, hingga honor para petugas pemilu. Presiden berharap, dengan pemilihan dilakukan oleh DPRD, biaya tersebut dapat ditekan dan dialihkan ke sektor lain, yang bermanfaat bagi masyarakat.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPRD Sulsel, Sufriadi Arif mengatakan, wacana soal pemilihan kepala daerah dipilih melalui DPRD, memicu perdebatan serius dan mengundang perhatian oleh banyak kalangan.
“Wacana ini mengundang pro dan kontra. Bagi penggiat demokrasi wacana ini dianggap dapat menciderai kepentingan rakyat banyak. Tapi bagi saya, pilkada melalui DPRD menghebat cost politik dan menjaga kondisi sosial masyarakat,” jelasnya, Selasa (17/12/2024).
Dia menuturkan, pro-kotra masih berkembang akan menjadi diskursus panjang. Bagi pihak yang setuju dengan wacana ini berpendapat bahwa dengan mekanisme pemilihan langsung terlalu besar beban dan biaya yang harus ditanggung oleh negara.
Dan di sisi lain, dengan adanya Pilkada langsung selama ini, faktanya, tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahateraan masyarakat.
“Hemat saya, pilkada yang selama ini kita anut dengan mekanisme pemilihan langsung kepala daerah memang perlu dijadikan bahan catatan untuk kemudian dicarikan format yang lebih tepat dan ideal,” tuturnya.
Anggota fraksi PPP DPRD Sulsel itu menyebutkan hal ini karena faktanya, Pilkada langsung cukup memprihatinkan. Menyisakan banyak persoalan serius. “Belum lagi, ongkos politik (cost politik) sangat mahal yang harus ditanggung oleh negara, dan ancaman kohesi sosial,” katanya.
Selain itu, kata dia. Seorang kandidat yang maju di pilkada langsung harus merogoh koceknya sebesar-besarnya hanya untuk mendapatkan tiket dan dukungan partai politik.
Dan tidak cukup sebatas itu, kandidat pun harus mempersiapkan lagi biaya lainnya untuk memenuhi kebutuhan segala macam atribut dan alat peraga lainnya serta mobilisasi dan pergerakan timnya agar mendapatkan dukungan elektoral di masyarakat.
“Kesimpulannya, kandidat yang berkantong cekak, bisa dipastikan kecil kemungkinannya mendapatkan dukungan elektoral secara signifikan,” tegasnya.
Sisi lain, ongkos sosial terkena imbasnya. Kerukunan dan kedamaian antar sesama warga terganggu karena faktor beda pilihan. Mereka yang tadinya rukun kemudian tiba-tiba tidak akur karena perbedaan pilihan. Ironisnya lagi yang punya pertalian darah yang sama pun mengalami hal serupa.
Dampak keterbelahan sosial ini, patut menjadi pertimbangan, selain karena tujuan bernegara adalah untuk kemaslahatan (kesejahteraan) masyarakat.
Juga karena pertimbangan kohesi sosial, yang merupakan tujian sosial sekaligus tujuan politik yang penting dan harus dijaga, sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila sila ketiga persatuan Indonesia.
Meskipun demikian, wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD tetap harus mempertimbangkan banyak hal. (*)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News