Rapat Revisi UU TNI Digelar di Hotel Mewah di Tengah Efisiensi Anggaran

Rapat Revisi UU TNI Digelar di Hotel Mewah di Tengah Efisiensi Anggaran

SULSELSATU.com, JAKARTA – Komisi I DPR kembali melanjutkan pembahasan mengenai perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Rapat yang dilakukan secara tertutup ini membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) dari revisi Undang-Undang TNI ini dilakukan selama dua hari, pada 14-15 Maret 2025.

Namun, rapat yang digelar di Hotel Fairmont, Jakarta diyakini bakal menimbulkan sikap antipati rakyat di tengah kebijakan pemerintah melakukan kebijakan efisiensi.

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, melemparkan sindiran terkait rapat yang membahas RUU TNI. Melalui cuitan di akun media sosial X pribadinya, Bivitri Susanti mengkritik lokasi yang menjadi tempat berlangsungnya rapat.

Seperti diketahui, pemilihan Hotel Fairmont sebagai tempat rapat Panja RUU TNI disorot tajam.

Menurut Bivitri, ada gedung DPR yang sebenarnya bisa menjadi tempat berlangsungnya rapat ketimbang di hotel mewah. “Orang Jakarta pasti paham, ini hotel mahalnya kayak apa. Gunanya ada gedung DPR apa?” tulisnya, dikutip Minggu (16/3/2025).

Lebih lanjut, ia mempertanyakan terkait anggaran yang digunakan untuk berlangsungnya rapat di hotel mewah tersebut. “Ini anggaran siapa yg dipakai? Katanya efisiensi? Dan kenapa buru-buru sampai harus banget di hotel? Urgensinya apa?” tuturnya.

Selain terkait hotel, satu hal yang paling dipertanyakan terkait alasan rapat ini yang memilih tertutup dan tidak berlangsung secara terbuka. “Yang terpenting: kenapa tidak terbuka?,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga, mengatakan, pembahasan RUU TNI yang didalilkan dengan istilah konsinyering itu digelar di tengah kebijakan pemerintah melakukan kebijakan efisiensi.

“Pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont kiranya tak sejalan dengan kebijakan efisiensi Presiden Prabowo Subianto,” kata Jamiluddin.

Dirinya juga menyatakan, dengan adanya penyebutan konsinyering itu membuat agenda yang dilakukan DPR RI khususnya Komisi I menjadi tidak masuk akal.

Jamiluddin meyakini, sikap antipati masyarakat terhadap pemerintah dan DPR RI atas kebijakan-kebijakan yang ada akan makin menguat.

“Dengan dalil konsinyering, seolah dijadikan pembenaran pembahasan RUU TNI di hotel bintang 5. Pembenaran ini tentu tak rasional sehingga sulit diterima akal sehat,” kata Jamiluddin.

“Pola pembenaran itu justru membuat rakyat semakin antipati. Rakyat disuguhkan argumentasi yang tak nalar,” sambung dia.

Rakyat menurut dia, seolah bodoh dan diyakini bakal menerima selalu argumentasi apa pun yang dikemukakan elite. Padahal kata Jamiluddin, pola pandangan seperti demikian membuat rakyat semakin tidak memahami sikap dan perilaku elite. (*)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News

Baca Juga