SULSELSATU.com, JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengimbau pemerintah dan DPR untuk memperpanjang masa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI).
Langkah ini dinilai penting guna mengakomodasi lebih banyak aspirasi publik serta menghindari dampak negatif yang mungkin timbul dari revisi tersebut.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menekankan bahwa pembahasan RUU TNI telah memicu perhatian luas dari masyarakat, termasuk kritik dan kekhawatiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, menurutnya, proses ini sebaiknya diperpanjang agar diskusi lebih mendalam dapat dilakukan.
Baca Juga : Rapat Revisi UU TNI Digelar di Hotel Mewah di Tengah Efisiensi Anggaran
“Jika kita melihat banyaknya atensi publik serta kritik terhadap revisi ini, sebaiknya ada perpanjangan masa pembahasan. Hal ini penting agar berbagai aspirasi masyarakat bisa didengar dan dipertimbangkan secara matang,” ujar Atnike dalam konferensi pers di Jakarta.
Komnas HAM juga telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan DPR terkait mitigasi potensi dampak dari revisi ini. Ke depan, lembaga ini berkomitmen untuk terus memantau implikasi dari pengesahan RUU TNI terhadap hak asasi manusia, supremasi sipil, dan demokrasi di Indonesia.
Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, menyebutkan bahwa kajian terhadap RUU TNI telah dilakukan sejak 2024. Dari kajian tersebut, Komnas HAM menyoroti sejumlah isu krusial, seperti risiko kembalinya dwifungsi TNI serta potensi politisasi jabatan akibat perpanjangan usia pensiun prajurit aktif.
Baca Juga : PT Masmindo Dwi Area Tegaskan Komitmen Saat Audiensi Bersama Komisi XII DPR RI
“Revisi ini harus berlandaskan prinsip HAM, supremasi sipil, serta tata kelola yang demokratis. Ada beberapa ketentuan yang berisiko menggeser keseimbangan antara peran militer dan sipil dalam negara demokrasi,” jelas Semendawai.
Salah satu pasal yang disoroti adalah perubahan Pasal 47 ayat 2 yang memungkinkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan di lembaga sipil. Koordinator Sub-Komisi Pemajuan HAM, Anis Hidayah, menilai aturan ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer yang sudah dihapus sejak reformasi 1998.
“Perubahan ini bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri, serta prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi,” tegas Anis.
Baca Juga : VIDEO: RDP Soal Pelanggaran Etik Rudy Soik, Tanggapan Anggota DPR Rudianto Lallo Dipuji Pimpinan Komisi
Selain itu, Anis juga menyoroti kenaikan batas usia pensiun prajurit TNI dalam revisi Pasal 53. Menurutnya, aturan ini dapat memperlambat regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI serta menyebabkan stagnasi jabatan dan inefisiensi anggaran.
“Penumpukan personel tanpa kejelasan penempatan tugas bisa menjadi masalah baru. Selain itu, kesejahteraan prajurit tidak bisa hanya dijawab dengan memperpanjang usia pensiun, tetapi juga dengan peningkatan gaji dan tunjangan yang lebih layak,” tambahnya.
Selain substansi RUU, Komnas HAM juga mengkritik proses pembahasan di DPR yang dinilai kurang transparan dan minim partisipasi publik. Anis menegaskan bahwa revisi UU TNI seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang lebih inklusif, sehingga semua pihak yang terdampak dapat memberikan masukan yang konstruktif.
Baca Juga : VIDEO: DPR RI Setujui Pemberhentian Budi Gunawan, Herindra Diangkat sebagai Kepala BIN
“Dalam proses legislasi ini, seharusnya ada ruang partisipasi yang bermakna bagi masyarakat. Sayangnya, mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan kali ini terkesan terburu-buru dan kurang melibatkan publik secara optimal,” pungkasnya.
Dengan berbagai catatan yang diberikan, Komnas HAM berharap pemerintah dan DPR dapat mempertimbangkan ulang revisi UU TNI agar tetap selaras dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar