SULSELSATU.com, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, menyatakan keprihatinan mendalam atas ditetapkannya tiga hakim sebagai tersangka kasus suap terkait perkara ekspor crude palm oil (CPO) yang melibatkan tiga perusahaan besar.
Rudianto menilai kejadian ini mencoreng integritas lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir pencari keadilan.
“Yang pertama kita prihatin, lagi-lagi aparat penegak hukum, apalagi hakim yang seharusnya menjadi pihak paling mulia dalam sistem hukum, justru menjadi pelaku lewat putusan-putusan yang ‘diperdagangkan’. Ini sangat memprihatinkan,” kata Rudianto kepada awak media, Kamis (17/4/2025).
Ia menekankan pentingnya penindakan tegas terhadap siapa pun yang terlibat, termasuk pimpinan pengadilan. “Kami mendesak agar siapa pun hakim atau pimpinan yang terlibat diseret ke meja hijau. Ini tak bisa ditoleransi,” ujarnya.
Lebih jauh, Rudianto mendorong evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan penempatan hakim, khususnya di pengadilan kelas 1 khusus. Menurutnya, pengadilan dengan beban perkara besar dan sensitif seperti itu harus diisi oleh hakim-hakim berintegritas tinggi.
“Hakim-hakim yang banyak mendapat laporan dan aduan jangan ditempatkan di pengadilan kelas 1 khusus. Justru harus ada seleksi ketat agar hanya hakim yang berintegritas yang bisa ditempatkan di sana. Kalau itu diterapkan, maka praktik-praktik kotor seperti jual beli putusan bisa dicegah,” tambahnya.
Dikutip dari Kompas.com, Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga hakim sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor CPO. Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta Djuyamto (DJU) dari PN Jakarta Selatan. Ketiganya diduga menerima suap sebesar Rp 22,5 miliar dari Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), agar mengeluarkan putusan lepas (onslag) terhadap tiga perusahaan besar dalam perkara tersebut.
Komisi III DPR RI berjanji akan terus mengawal proses hukum ini serta mendorong reformasi mendasar dalam tubuh lembaga peradilan agar kasus serupa tidak terulang kembali. (Ded)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News
Komentar